Pulau Jawa pada masa lampau dikenal tidak hanya melalui warisan budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena pernah menjadi habitat predator puncak yakni Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).
Melansir dari Wikipedia, subspesies harimau yang endemik ini telah dinyatakan punah sejak 1980-an dan kini hanya dikenang dalam catatan sejarah serta dokumentasi ilmiah.
Harimau Jawa dikenal sebagai salah satu subspesies harimau berukuran kecil, sebanding dengan Harimau Bali dan lebih kecil dibandingkan dengan Harimau Sumatera maupun Harimau Bengal.
Bobot jantan dewasa diperkirakan berkisar antara 100 hingga 140 kilogram, sementara betina antara 75 hingga 115 kilogram.
Ciri fisik yang membedakan Harimau Jawa dengan subspesies lainnya antara lain tubuh ramping namun berotot, pola loreng hitam yang lebih rapat dan tipis, serta warna dasar bulu cokelat kemerahan yang lebih terang.
Baca Juga: Kemenbud dan PT Pos Indonesia Luncurkan Prangko Spesial 70 Tahun KAA
Moncongnya tampak lebih sempit dengan wajah yang memberikan kesan tajam dan siaga.
Dalam perilaku alaminya, Harimau Jawa diketahui merupakan satwa soliter yang sangat teritorial.
Aktivitas utamanya berlangsung pada malam hari (nokturnal), meskipun sesekali dapat berburu di siang hari.
Mangsa utamanya terdiri atas hewan-hewan berukuran sedang hingga besar seperti rusa, banteng muda, babi hutan, serta unggas liar.
Sebaran Harimau Jawa pada masa lalu mencakup hampir seluruh daratan pulau Jawa, mulai dari ujung barat hingga timur.
Habitat utamanya meliputi hutan hujan tropis dataran rendah, kawasan pegunungan, serta semak dan savana di wilayah-wilayah kering seperti Banyuwangi.
Namun, perluasan lahan pertanian, pertumbuhan permukiman, dan pembangunan infrastruktur memaksa satwa ini kehilangan habitat alaminya hingga akhirnya menuju kepunahan.
Jika dibandingkan dengan dua subspesies lain yang berasal dari Indonesia, yakni Harimau Bali dan Harimau Sumatera, Harimau Jawa menempati posisi tengah dalam hal ukuran tubuh dan karakteristik genetik.

Harimau Bali telah lebih dahulu punah pada 1937 dan tidak sempat ditangkarkan.
Sementara itu, Harimau Sumatera hingga kini masih bertahan meskipun dalam status sangat terancam punah.
Tidak seperti Harimau Sumatera, Harimau Jawa tidak memiliki riwayat program konservasi aktif sebelum kepunahannya.
Tidak ada individu yang sempat dipelihara di kebun binatang maupun dokumentasi DNA yang disimpan.
Kepunahan subspesies ini berlangsung perlahan dan cenderung luput dari perhatian publik.

Sejumlah laporan tidak resmi mengenai keberadaan Harimau Jawa masih muncul hingga awal 2000-an, khususnya dari wilayah Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.
Namun, hingga saat ini belum ditemukan bukti ilmiah yang dapat diverifikasi, seperti jejak kaki, kotoran, maupun foto dari kamera jebak (camera trap).
Baca Juga: Menembus Hutan dan Kabut, Menemukan Pesona Curug Lawe
Kepunahan Harimau Jawa menjadi peringatan keras bagi pentingnya konservasi keanekaragaman hayati.
Hilangnya spesies ini bukan merupakan akibat seleksi alam, melainkan dampak dari eksploitasi, alih fungsi lahan, dan kelalaian manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Saat ini, Harimau Sumatera yang tersisa juga berada dalam kondisi yang sangat rentan. Keberlangsungan hidupnya membutuhkan perhatian dan aksi nyata dari seluruh pihak.
Kisah Harimau Jawa hendaknya menjadi cermin sekaligus momentum untuk memperkuat upaya pelestarian satwa liar di Indonesia. (Diolah dari berbagai sumber)