Cerita rakyat mengenai asal-usul seni ukir Jepara di Jawa Tengah layak diketahui oleh khalayak luas sebagai tambahan wawasan budaya. Kota Jepara sendiri telah lama dikenal sebagai pusat seni ukir yang mengagumkan.
Hampir setiap kecamatan di Jepara memiliki pusat produksi seni ukir. Keindahan ukiran Jepara tak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Seni ukir Jepara tidak terbatas pada patung atau hiasan dinding, melainkan juga diaplikasikan pada furnitur. Beberapa kecamatan yang terkenal dengan seni ukirnya hingga ke luar negeri meliputi Kecamatan Tahunan, Mlonggo, Bangsri, dan Kecamatan Jepara. Berikut ini adalah kisah rakyat yang mengungkapkan asal-usul seni ukir Jepara.
Pada zaman kerajaan Majapahit, ketika Prabu Brawijaya memerintah, suasana kerajaan penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. Prabu Brawijaya terkenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan penyayang rakyatnya. Salah satu buktinya adalah pesatnya perkembangan seni di wilayah kerajaannya. Kedamaian kerajaan itu juga didukung oleh permaisurinya yang terkenal cantik jelita, yang begitu dicintai oleh sang raja.
Sebagai bentuk cinta dan kekagumannya terhadap permaisuri, Prabu Brawijaya berniat mengabadikan kecantikannya dalam sebuah lukisan.
Dikisahkan dalam cerita rakyat ini, seorang seniman besar bernama Prabangkara hidup di masa Majapahit. Prabangkara dikenal luas berkat keahliannya melukis, hingga namanya masyhur ke seluruh nusantara. Mendengar kepopulerannya, Prabu Brawijaya memutuskan untuk meminta bantuan Prabangkara.
“Prabangkara, namamu terkenal di seluruh negeri ini. Aku telah mendengar laporan dari prajuritku bahwa engkaulah pelukis terbaik di kerajaan ini,” ujar Prabu Brawijaya.
“Hamba merasa terhormat atas pujian Baginda, dan siap melaksanakan perintah Baginda,” jawab Prabangkara.
Prabu Brawijaya pun menyampaikan niatnya. “Aku ingin engkau melukis permaisuriku seindah mungkin sebagai tanda cintaku padanya,” titahnya.
Prabangkara menerima tugas tersebut dan memulai persiapan. Sebelum melukis, ia menjalani serangkaian ritual lelaku, seperti puasa selama tujuh hari, hanya makan buah-buahan, dan mengonsumsi makanan dari umbi-umbian. Setelah menyelesaikan laku spiritual itu, ia pun mulai melukis permaisuri dengan penuh konsentrasi, mencurahkan seluruh bakatnya agar hasilnya sempurna.
Namun, saat lukisan hampir selesai, tanpa sengaja tangannya menyenggol alat lukis, meninggalkan noda di lukisan. Meski berusaha membersihkannya, noda itu tetap ada. Akhirnya, Prabangkara menyerahkan lukisan tersebut kepada Prabu Brawijaya.
Ketika melihat lukisan itu, sang raja awalnya merasa sangat senang karena lukisan itu begitu mirip dengan permaisurinya. Namun, ketika ia mengamati lebih dekat, ekspresi Prabu Brawijaya tiba-tiba berubah. Raja menjadi marah karena melihat bahwa dalam lukisan itu terdapat tanda rahasia di tubuh permaisuri yang seharusnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Walau Prabangkara berusaha meyakinkan bahwa hal tersebut tidak disengaja, Prabu Brawijaya tetap tidak mempercayainya. Amarah sang raja memuncak, dan ia memerintahkan agar Prabangkara diikat bersama alat lukisnya pada sebuah layang-layang besar. Layang-layang itu diterbangkan tinggi-tinggi, kemudian talinya diputus.
Ketika layang-layang itu melayang-layang di langit, pahat Prabangkara jatuh di sebuah daerah yang sekarang dikenal sebagai Desa Mulyoharjo. Tempat ini kemudian berkembang menjadi pusat seni ukir dan terkenal dengan motif ukiran macan kurungnya.
Demikianlah asal-usul seni ukir Jepara menurut cerita rakyat. Konon, seni ukir yang menjadi kebanggaan Jepara muncul dari jatuhnya pahat Prabangkara di tanah Mulyoharjo. (Achmad Aristyan – Sumber: Wikipedia)