Bulan Juli selalu menjadi momen yang dinantikan oleh para penggemar musik. Bukan hanya karena banyaknya festival musik yang digelar setiap akhir pekan, tetapi juga beragamnya acara musik tradisional yang turut memeriahkan bulan tersebut. Di antara berbagai acara musik yang diselenggarakan, dua event keroncong menarik perhatian pencinta musik Indonesia: Solo Keroncong Festival (SKF) yang sudah berlangsung pada 19-20 Juli 2024, dan Keroncong Plesiran Yogyakarta yang digelar pada 20 Juli 2024.
Kendati kedua acara ini sama-sama mengusung keroncong sebagai tema utamanya, ada perbedaan mencolok antara keduanya. Solo Keroncong Festival adalah festival tahunan berskala internasional yang telah diadakan sejak 2009. Festival ini menampilkan seniman keroncong dari tingkat lokal hingga internasional, sehingga menjadi ajang pertemuan bagi musisi keroncong dari berbagai negara.
Sementara itu, Keroncong Plesiran Yogyakarta menawarkan konsep pertunjukan yang unik dengan menghadirkan grup-grup keroncong asli, keroncong modern, hingga keroncong berformat orkestra. Acara ini juga membawa suasana berbeda dengan memberikan kebebasan berekspresi dan menonjolkan nuansa segar. Pertunjukan musik diadakan di berbagai tempat wisata, sehingga penonton dapat menikmati keindahan alam sembari menyaksikan pertunjukan.
Berbicara tentang keroncong, apakah Anda sudah memahami asal usul musik ini? Ternyata, di balik ketenaran musik keroncong, terdapat perjalanan panjang yang berakar pada perpaduan antara budaya Barat dan Timur. Menurut Lutgard Mutsaers, seorang musisi rock, jurnalis, dan peneliti musik populer asal Belanda, musik keroncong menjadi simbol eratnya hubungan antara Indonesia dan Belanda.
Menariknya, popularitas musik keroncong di Indonesia telah muncul bahkan sebelum adanya industri rekaman, tepatnya pada awal abad ke-20. Musik keroncong berawal dari komunitas Mestizos, keturunan pelaut Portugis yang menikahi penduduk lokal di Kampung Tugu. Di sinilah tradisi musik khas yang dikenal sebagai “Krontjong Toegoe” lahir, dengan menggunakan tiga jenis gitar unik: Jitera (gitar besar), Pruga (gitar sedang), dan Macina (gitar kecil). Suara yang dihasilkan dari gitar-gitar ini menciptakan bunyi khas “krong-krong” yang menjadi cikal bakal musik keroncong.
Dari situ, keroncong mulai berkembang dan menarik perhatian masyarakat, dengan pertunjukan yang semakin sering digelar di berbagai tempat. Seiring berjalannya waktu, keroncong menjadi semakin populer di Indonesia dan mulai dikenal hingga ke mancanegara.
Salah satu hal yang membedakan musik keroncong dari genre musik lainnya adalah penggunaan alat musik ukulele, yang menjadi ciri khas utama. Selain itu, dalam pertunjukan keroncong asli, biasanya terdapat tujuh instrumen lainnya, termasuk bass, cello, seruling, gitar melodi, dan alat musik tradisional lainnya.
Saat ini, musik keroncong terus berkembang dan beradaptasi dengan berbagai gaya musik modern. Beberapa contoh di antaranya adalah keroncong campursari dengan pengaruh langgam Jawa, keroncong Koes-Plus yang berirama rock, hingga congdut yang menggabungkan keroncong dan dangdut.
Tak hanya berhenti di situ, perkembangan musik keroncong semakin pesat dengan munculnya banyak musisi berbakat di Indonesia. Di antara mereka adalah Waldjinah, yang dikenal sebagai “Ratu Keroncong”, serta Gaesang, Endah Laras, dan Sruti Respati, yang terus melestarikan dan mempopulerkan musik keroncong hingga kini. (Achmad Aristyan – Sumber: kemenparekraf.go.id)