Kesenian Burdah, merupakan seni pertunjukan yang mengkombinasikan seni musik, dan seni tarik suara. Biasanya kesenian ini diperuntukkan untuk pembacaan kitab Al-barzanji. Kesenian ini biasa dipertunjukkan pada acara pernikahan, selamatan tujuh bulan kelahiran, khitanan.
Kesenian Burdah berisi puji-pujian dan salawatan yang diambil dari kitab Albarzanji karangan Syech Ja’far Al-Barzanji bin Hussein Abdul Karim 1690-1766 Masehi. Musik pengiringnya dari sejumlah rebana dengan berbagi ukuran.
Alat musik tersebut terdiri dari terbang burdah besar dan kecil yang terbuat dari kulit sapi, kayu nangka, dan penjalin. Bahan penjalin sendiri digunakan untuk mengatur nada alat musik rebana. Seiring perkembangan zaman, kesenian ini ditambahkan dengan alat musik seperti kendang, kempul, kluncing dan gong. Disamping itu juga diselingi dengan lagu-lagu daerah.
Untuk pakaian yang digunakan biasanya memakai sarung, baju batik/kemeja sawitan, dan peci hitam. Warna dan motif biasanya disamakan untuk menunjukkan bahwa mereka berasa dalam kelompok yang sama.
Sambil memukul alat musik, mereka melantunkan syair-syair puitis berbahasa Arab dengan irama gending-gending Osing Banyuwangi. Beberapa bagian repertoar juga diisi dengan gending-gending berbahasa Osing.
Gending yang dibawakan diantaranya yaitu, benada jim jiman barong, kembang jeruk, blendrong, dan gunungsari. Teknis pembacaannya meliputi, pembacaan gending / lagu dilakukan secara berpasangan 2 orang.
16 Pasal Gending
Gending yang dibaca merupakan 16 pasal dari kitab Al-Barzanji. Kedua orang tersebut akan membacakan satu pasal kemudian sisanya akan mengiringi dengan musik. Pergantian selingan untuk jeda, lagu daerah atau selingan lainnya, biasanya dilakukan pada pasal 5. Pertunjukan biasanya dilaksanakan sekitar pukul 9 malam.
Kesenian budrah awal didirikan di Desa Mandaluko, sebelah barat desa Kemiren, oleh 10 anggota awal kelompok Al-Barzanji. Salah satu anggotanya bernama Suparman yang sudah bergabung hampir 50 tahun dengan grup burdah Al-Barzanji Mandaluko.
Pada tahun 2010 Suparman kemudian menggagas pendirian grup Burdah Al-Barzanji di Desa kemiren. Namun, seiring maraknya kesenian modern, kesenian Burdah yang dimainkan oleh kaum pria paruh baya tersebut nyaris tenggelam karena jarang diundang dalam acara-acara hajatan.
Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi jumlah kelompok Burdah yang masih bertahan. Tadinya di Banyuwangi ada tiga grup Budrah yaitu dari Desa Kemiren, Dusun Mandaluko, dan Desa Jambesari. Sekarang hanya tinggal grup Burdah Sekarwangi dari Dusun Mandaluko saja yang masih bertahan.
Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI adalah menyelenggarakan program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan, salah satunya yaitu Pesinauan Sekolah Adat Osing.
Program tersebut terdiri dari rangkaian kegiatan workshop, pertunjukan, dan rekam audio visual seni Burdah. Dengan adanya kegiatan tersebut memberikan harapan bahwa seni Burdah dapat terus diwariskan dan dicintai kembali. (Sumber: kemiren.com dan sumber lainnya)