Kotagede, kawasan bersejarah di Yogyakarta yang dikenal sebagai bekas pusat Kerajaan Mataram Islam, bukan hanya menyimpan kekayaan arsitektur dan budaya, tetapi juga warisan kuliner tradisional.
Salah satu sajian khas dari wilayah ini adalah legomoro, jajanan pasar berbahan dasar ketan yang sekilas mirip dengan lemper, namun menyimpan perbedaan dalam tampilan dan filosofi.
Dari segi bahan, legomoro dan lemper sama-sama dibuat dari ketan yang diberi isian suwiran daging ayam berbumbu.
Namun yang membedakan adalah cara membungkusnya.
Jika lemper dibalut daun pisang secara memanjang dan ujungnya dikunci dengan lidi, maka legomoro dibungkus lebih padat dan diikat dengan tali bambu kecil bernama tutus.
Baca Juga: Reas, Mengukir Identitas Lokal Lewat Seni Grafiti di Yogyakarta
Biasanya, dua hingga tiga tutus melingkar erat di badan legomoro, menciptakan tampilan khas yang langsung membedakannya dari penganan ketan lainnya.
Secara etimologis, nama legomoro berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu lego (lega) dan mara (datang).
Gabungan dua kata ini dimaknai sebagai kedatangan yang membawa kelegaan atau tamu yang datang dengan hati yang lapang.
Filosofi ini sangat terasa dalam tradisi masyarakat Kotagede, di mana legomoro dulunya tidak dijual bebas dan hanya disajikan pada momen-momen istimewa seperti pernikahan atau hajatan keluarga.
Dalam acara pernikahan, legomoro sering menjadi bagian dari seserahan dari mempelai pria kepada pihak wanita.
Hadiah ini tidak sekadar simbol makanan, tetapi juga bentuk ungkapan ketulusan dan keikhlasan hati dari keluarga yang datang.
Di saat yang sama, tuan rumah yang menyuguhkan legomoro kepada tamu bermaksud menyampaikan rasa syukur dan kebahagiaan atas acara yang diselenggarakan.
Tak hanya hadir di pelaminan, legomoro juga menjadi suguhan khas saat Lebaran.
Di tengah suasana silaturahmi dan saling memaafkan, legomoro menjadi simbol harapan agar setiap tamu yang datang membawa dan menerima kelegaan hati setelah sungkeman.
Tradisi ini mengakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa, di mana makanan tidak hanya soal rasa, tetapi juga sarana menyampaikan pesan-pesan batiniah.
Baca Juga: Mengenang Hamzah Sulaiman Pendiri The House of Raminten di Yogyakarta
Seiring waktu, legomoro kini tak lagi eksklusif hanya untuk acara khusus. Ia sudah banyak dijumpai di pasar tradisional, terutama di Pasar Kotagede.
Masyarakat dapat menikmati jajanan ini kapan saja. Rasanya gurih dan mengenyangkan, sangat cocok dijadikan teman minum teh atau kudapan sore hari.
Meski kini lebih mudah ditemukan, legomoro tetap mempertahankan nilai-nilai simboliknya, menjadikannya bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari perjalanan sejarah dan budaya Kotagede.