Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengunjungi Gedung Agung Yogyakarta, Minggu, 9 Februari 2025, yang akan menjadi tempat transit bagi 505 kepala daerah sebelum mengikuti retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 21-28 Februari 2025.
Gedung Agung ini, berada di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari peranannya dalam sejarah Indonesia, dari masa kolonial hingga pasca-kemerdekaan.
Gedung Agung: Lokasi Transit Kepala Daerah
Dalam kunjungan itu, Bima Arya menjelaskan, Gedung Agung akan menjadi tempat berkumpul bagi para kepala daerah hasil Pemilu 2024 yang baru akan dilantik pada 20 Februari mendatang di Jakarta.
Rencananya, mereka akan berkumpul di Gedung Agung terlebih dahulu sebelum bersama-sama menuju Magelang untuk mengikuti pembekalan di Akmil.
“Salah satu opsi rencana retret di Magelang, kepala daerah berkumpul di sini (Gedung Agung) dulu baru kemudian bersama-sama naik bus ke Magelang, sedangkan opsi lainnya mereka langsung berkumpul di Magelang,” kata Bima Arya dilansir dari tempo.co.
Sejarah Gedung Agung Yogyakarta
Melansir dari news.detik.com, Gedung Agung Yogyakarta berperan penting dalam sejarah Indonesia.
Gedung ini merupakan salah satu cagar budaya yang masih berfungsi sebagai Istana Kepresidenan, tempat tinggal Presiden saat berkunjung ke Yogyakarta.
Gedung yang berada di ujung Jalan Malioboro ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi dan menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah, termasuk Perang Diponegoro (1825-1830).
Sejarah berdirinya gedung ini berawal dari perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan Keraton Ngayogyakarta, cikal bakal Yogyakarta.
Pada masa penjajahan Belanda, untuk mengawasi Kasultanan Yogyakarta, Pemerintah Belanda membangun benteng dan gedung keresidenan.
Benteng Vredeburg yang terletak di dekat Gedung Agung dan gedung keresidenan yang dibangun di sisi barat benteng ini menjadi bagian dari sejarah panjang gedung tersebut.
Baca juga: Masjid Jogokariyan Ikon Dakwah dan Sejarah di Yogyakarta

Pembangunan dan Renovasi Gedung Agung
Pada masa jabatan Residen ke-17 Antonie Hendrik Smissaert (1823-1825), gedung keresidenan yang sudah rusak parah diperbaiki. Gedung yang berada di pekarangan luas yang dikenal dengan “Loji Kebon” ini dibangun arsitek A. Payen kembali pada tahun 1824.
Namun, pembangunan terhenti sejenak akibat Perang Diponegoro yang meletus pada 1825. Pembangunan dilanjutkan pada masa Residen Frans Gerardus Valk dan akhirnya selesai pada 1832 setelah menghabiskan biaya f 70.000.
Gempa bumi tahun 1867 kembali merusak gedung ini, dan tahun 1869 Residen A.J.P. Hubert Desire Bosch melakukan rehabilitasi dengan dana f 125.000. Renovasi inilah yang menghasilkan Gedung Agung seperti yang kita kenal sekarang.
Fungsi Gedung Agung
Sejak dibangun, Gedung Agung Yogyakarta tidak banyak mengalami perubahan. Di halaman depan, terdapat patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) yang berdiri tegak.
Di samping itu, terdapat Tugu Lilin setinggi 3,5 meter yang selalu menyalakan api semu di puncaknya.
Gedung Agung dikenal juga dengan nama Gedung Negara, mengingat fungsinya sebagai tempat penerimaan tamu-tamu penting, termasuk kepala negara atau tamu agung yang berkunjung.
Istana ini juga memiliki peranan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Megawati Soekarnoputri, putri Presiden Soekarno, lahir di gedung ini.
Persiapan Retret Kepala Daerah
Bima Arya juga mengungkapkan bahwa untuk pembekalan di Akmil Magelang, 189 tenda akan dipasang untuk menampung 481 bupati dan wali kota serta 33 gubernur.
Setiap tenda dapat menampung 2-4 kepala daerah, dan fasilitas seperti saluran air, kamar mandi, listrik, serta kesiapan tenda telah dipastikan siap.
Melalui perayaan dan acara ini, diharapkan dapat mempererat hubungan antar kepala daerah dan meningkatkan kualitas kepemimpinan daerah dalam rangka pembangunan Indonesia ke depan. (Dari berbagai sumber)