Perang Obor, tradisi unik yang berasal dari Desa Tegalsambi, Kabupaten Jepara. Biasanya tradisi ini diadakan setiap tahun pada Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Dzulhijjah. Tradisi ini memiliki makna mendalam terkait sejarah dan budaya masyarakat setempat.
Dilansir dari laman fotograferindonesia.com, menurut Agus Santoso, Petinggi Desa Tegalsambi, tradisi perang obor bermula dari Legenda Ki Gemblong. Diceritakan bahwa Ki Gemblong, seorang penggembala ternak, terlena oleh ikan dan udang di sungai.
Karena kelalaiannya, ternak-ternaknya menjadi sakit. Kyai Babadan, pemilik ternak, marah ketika melihat Ki Gemblong sedang memancing dan memukulnya dengan obor. Namun, ajaibnya, api dari obor tersebut malah menyembuhkan ternak yang sakit.
Kisah ini membentuk kepercayaan bahwa api obor memiliki kekuatan untuk mengusir bala dan membawa kesehatan. Namun seiring dengan masuknya pengetahuan agama, perang obor tersebut diteruskan sebagai tradisi. Bahkan sudah masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Ritual Perang Obor dimulai dengan beberapa prosesi yang saling berkaitan. Mulai dari sedekah bumi dilaksanakan dengan tambahan acara karnaval yang diwakili oleh RW setempat. Selain itu, pada 35 lima hari sebelumnya dilakukan prosesi zikir dan ziarah ke beberapa makam leluhur Desa Tegalsambi.
Baca Juga: Karimunjawa, Wisata Alam dan Religi di Jepara
Sebelum dilaksanakannya Perang Obor, terdapat prosesi mengarak pusaka, yaitu Pedang Gendir Gambang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, serta sebuah bedug. Pusaka tersebut dipercaya sebagai warisan Sunan Kalijaga. Kemudian di akhir acara ditutup dengan pagelaran wayang kulit.
Perang Obor sendiri dilakukan pada bulan Zulhijah, tepat malam Selasa Pon. Obor tersebut terbuat dari blarak atau daun kelapa kering, yang digulung menggunakan pelepah pisang sampai berdiameter 20 cm dan diikat pada sebatang bambu sepanjang 3 m.
Sebelum perang, petinggi yang sudah mengenakan pakaian adat jawa diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Perang obor berlangsung sekitar satu jam, sebelum kemudian pasukan obor kembali ke rumah petinggi desa untuk mengoleh tubuh mereka dengan minyak londoh yaitu sejenis menyak dari kembang telon kering yang sudah diberi doa-doa khusus.
Di balik atraksi yang memukau ini ternyata memiliki makna filosofi yang mendalam. Tradisi ini menggambarkan perjuangan melawan hal-hal buruk dan keinginan untuk selalu membawa kebaikan dalam kehidupan.
Selain itu, tradisi ini memiliki nilai mempertahankan kebijaksanaan lokal sebagai ciri khas masyarakat Jawa, yaitu adanya nilai-nilai gotong-royong, kebersamaan, dan tepo-seliro. Dari sisi agama ritual ini bermakna untuk selalu menjaga ukhuwah islāmiyyah dan selalu berdoa kepada Allah juga para nabi dan sahabat nabi, serta sebagai wujud syukur.
Perang Obor bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan sebuah warisan budaya yang sarat akan makna dan nilai sejarah. Tradisi ini juga menunjukkan adanya kearifan lokal juga dapat berdampingan dan tidak melanggar ajaran Islam. (Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)