By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
emmanus.comemmanus.comemmanus.com
  • Beranda
  • Berita
  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya
  • Cerita Rakyat
  • Pariwisata
Reading: Pranoto Mongso, Sistem Penanggalan Musim Warisan Leluhur
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
emmanus.comemmanus.com
Font ResizerAa
Search
  • Berita Kategori
    • Berita
    • Profil
    • Event
    • Tradisi
    • Pariwisata
    • Cerita Rakyat
    • Warisan Budaya
Follow US
©2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
emmanus.com > Blog > Warisan Budaya > Pranoto Mongso, Sistem Penanggalan Musim Warisan Leluhur
Warisan Budaya

Pranoto Mongso, Sistem Penanggalan Musim Warisan Leluhur

Achmad Aristyan
Last updated: 31/10/2024 00:44
Achmad Aristyan
Share
3 Min Read
Mbah Wasinem (kiri) yang sedang memegang tabel pranata mangsa. Foto: Istimewa
SHARE

Pranoto Mongso adalah bentuk penanggalan tradisional yang dipakai masyarakat Jawa untuk membaca pergantian musim.

Sebuah video yang diunggah melalui kanal YouTube Dwi Dims memperlihatkan sosok perempuan tua yang tengah menjelaskan papan bertanda garis, titik, dan garis silang di atasnya.

“Kolomnya ada 30 dan barisnya tujuh sesuai jumlah hari. Ini disebut Pranoto Mongso. Boleh juga disebut kalender,” ujar perempuan itu, yang dikenal dengan nama Mbah Wasinem.

Menurut penuturannya, kitab Pranoto Mongso telah diwariskan turun-temurun dalam keluarganya. Kitab ini dulunya kerap digunakan oleh petani Jawa sebagai panduan dalam bertani. Lantas, bagaimana sebetulnya sistem  ini berfungsi?

Sistem dan Aturan 

Berdasarkan informasi dari Salamyogyakarta.com, Pranoto Mongso adalah bentuk penanggalan tradisional yang dipakai masyarakat Jawa untuk membaca pergantian musim. Sistem ini populer di kalangan petani dan nelayan, yang memerlukan panduan kondisi alam.

Sistem penanggalan musim warisan leluhur ini pertama kali dikenalkan oleh Raja Pakubuwono VII dan resmi digunakan sejak 22 Juni 1856. Sistem ini memberikan petunjuk bagi petani, nelayan, bahkan para prajurit dalam menentukan waktu yang tepat untuk berbagai kegiatan, mulai dari bercocok tanam hingga melaut.

Pada tahun 1855, aturan ini diperbarui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV, yang menyusun siklus berdasarkan fenomena alam seperti perilaku hewan, pertumbuhan tanaman, dan perubahan cuaca.

Menurut pembagian ini, satu tahun terbagi menjadi empat musim utama dan dua musim kecil, yaitu: musim terang (langit cerah, 82 hari), musim semplah (kesulitan, 99 hari) dengan masa paceklik pada 23 hari pertama, musim udan (hujan, 86 hari), dan musim pangarep-arep (penuh harapan, 98/99 hari) yang ditutup dengan panen kecil selama 23 hari terakhir.

Pembagian Musim Pranoto Mongso

Lebih rinci, Pranoto Mongso membagi tahun menjadi 12 musim dengan durasi yang bervariasi sesuai dengan kalender Pranoto Mongso. Musim-musim tersebut meliputi Kasa (22 Juni-1 Agustus), Karo (2 Agustus-24 Agustus), Katelu (25 Agustus-17 September), Kapat (18 September-12 Oktober), Kalima (13 Oktober-8 November), Kanem (9 November-21 Desember), Kapitu (22 Desember-2 Februari), Kawolu (3 Februari-28 Februari), Kasanga (1 Maret-25 Maret), Kasadasa (26 Maret-1 April), Dhesta (19 April-11 Mei), dan Sadha (12 Mei-21 Juni).

Peran Pranoto Mongso dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dari panduan ini, diketahui bahwa pada bulan Desember hingga Februari akan terjadi musim badai, hujan, banjir, dan longsor. Sementara itu, musim Kawolu yang berlangsung antara 2 Februari hingga 1 Maret menandakan kewaspadaan terhadap kemungkinan wabah penyakit yang memengaruhi tanaman, hewan, dan manusia, seringkali akibat dari bencana sebelumnya.

Bagi para nelayan, Pranoto Mongso membantu menentukan waktu melaut dengan mengamati letak bintang sebagai patokan. Pada bulan-bulan tertentu, mereka dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak. Namun, ada pula saat-saat laut berbahaya, yang menjadi waktu bagi nelayan untuk memperbaiki jaring, rumah, atau mencari pekerjaan lain di darat. (Sumber: YouTube Dwi Dims dan Salamyogyakarta.com)

You Might Also Like

Kesegaran Es Dawet Siwalan, Sajian Kuliner Ikonik Lamongan

Berawal Dari Konsep Suwung Menjadi Motif Batik Kawung

Permainan Tradisional Dakon Asah Kemampuan Strategi

Patung Sapundu Simbol Budaya dan Spiritualitas Suku Dayak

Mengenal Sape Alat Musik Tradiisional Suku Dayak

Sign Up For Daily Newsletter

Be keep up! Get the latest breaking news delivered straight to your inbox.
[mc4wp_form]
By signing up, you agree to our Terms of Use and acknowledge the data practices in our Privacy Policy. You may unsubscribe at any time.
Share This Article
Facebook X Copy Link Print
Share
By Achmad Aristyan
Content Writer
Previous Article Geblek Kulon Progo Kuliner Khas dengan Cita Rasa Unik
Next Article Gua Maria Lawangsih, Wisata Religi di Kulon Progo
Leave a comment Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media

2kFollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Terbaru

perdagangan karbon
Indonesia Pastikan Target Perdagangan Karbon USD 65 Miliar Bukan Sekadar Angka
Video 12/05/2025
Waisak, Sejarah dan Makna Peringatan Hari Raya Buddha di Indonesia
Tradisi 12/05/2025
Fadli Zon Ajak HIPIIS Berperan dalam Kebijakan Publik
Berita 12/05/2025
Candi Borobudur di Magelang dan Perjalanan Sejarah Penemuannya
Warisan Budaya 12/05/2025
- Advertisement -

Quick Link

  • Kontak Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Media Siber

Top Categories

  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya

Stay Connected

200FollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
emmanus.comemmanus.com
Follow US
© 2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Nama Pengguna atau Alamat Email
Kata Sandi

Lupa kata sandi Anda?