Patung hiu dan buaya di Surabaya menjadi salah satu simbol paling ikonik dari Kota Pahlawan, Jawa Timur. Dua hewan ini, yang dikenal dengan nama ikan sura (hiu) dan buaya, melambangkan keberanian warga Surabaya dalam mempertahankan wilayah mereka dari berbagai ancaman.
Legenda ini bermula dari perseteruan antara hiu dan buaya. Ketika hiu mulai kelelahan setelah pertempuran panjang, ia membuat kesepakatan dengan buaya untuk membagi wilayah kekuasaan: lautan untuk hiu, dan daratan untuk buaya. Namun, seiring berjalannya waktu, hiu yang mulai kekurangan makanan di lautan melanggar kesepakatan dengan mencari mangsa di sungai, wilayah kekuasaan buaya. Buaya yang murka atas pelanggaran tersebut akhirnya memulai kembali pertarungan sengit dengan hiu.
Dalam pertempuran itu, hiu berhasil menggigit ekor buaya, sementara buaya membalas dengan menggigit ekor hiu hingga nyaris putus. Pertarungan semakin intens, diwarnai oleh gigitan dan serangan beruntun dari kedua pihak, yang menyebabkan darah mereka bercucuran, mewarnai air di sekitar dengan merah. Pada akhirnya, perkelahian berhenti ketika hiu kembali ke laut, dan buaya tetap menguasai daratan.
Selain mitos tersebut, patung hiu dan buaya mulai muncul dalam sejarah lokal pada sebuah suvenir peringatan ulang tahun ke-10 grup musik ST Caecilia di tahun 1948. Pada tahun 1920, pemerintah kolonial meresmikan logo hiu dan buaya sebagai lambang resmi kota Surabaya. Patung yang menggambarkan pertarungan kedua hewan tersebut kemudian dibangun pada tahun 1988 oleh arsitek Sutomo Kusnadi dan dipahat oleh Sigit Margono. Pertarungan antara sura (hiu) dan baya (buaya) ini memiliki tempat khusus di hati masyarakat Surabaya.
Ada juga versi lain mengenai asal-usul nama Surabaya. Kata “Sura” diyakini berarti selamat atau jaya, sedangkan “Baya” berarti bahaya. Dengan demikian, Surabaya bisa diartikan sebagai “selamat menghadapi bahaya.” Bahaya ini merujuk pada serangan tentara Tar-tar yang datang untuk menghukum Raja Jawa. Setelah Kartanegara terbunuh, Jayakatwang menjadi sasaran serbuan tentara Tar-tar. Raden Wijaya, yang tidak terima dengan penjarahan dan penculikan gadis-gadis oleh tentara Tar-tar, akhirnya melakukan serangan balasan di pelabuhan Ujung Galuh, memaksa mereka untuk mundur kembali ke Tiongkok. (Achmad Aristyan – Sumber: Wikipedia)