Seni gaok, salah satu kesenian dari Majalengka yang hampir punah. Kata Gaok sendiri berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak. Kesenian ini adalah menyampaikan wacana dalam bentuk pupuh atau puisi tradisional Sunda.
Kesenian ini sudah berkembang sejak abad ke -17 pada masa Pemerintahan Pangeran Muhammad. Sementara tokoh yang berperan mengembangkannya adalah Sabda Wangsaharja sekitar tahun 1920-an di Kulur, Majalengka.
Dilansir dari Disbudpar Majalengka, 2012, gaok merupakan kesenian jenis mamaoas (membaca teks) atau disebut juga wawacan, dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui) seni gaok biasa disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat.
Menurut Muhamad Ridwan, selaku juru muda pada wawancaranya di SMPN 3 Majalengka, 14 Desember 2023, dulunya gaok digunakan sebagai kode ketika berada di hutan. Ketika merasa takut atau terancam mereka akan berteriak mencari teman. Kemudian dijawab oleh teman di sisi lain hutan. Sehingga akhirnya saling bersahutan dan menjadi seni.
Baca Juga: Tari Topeng Randegan Wetan Majalengka Menunggu Pewaris
Dibawakan dengan Suara Melengking
Gaok dibawakan dengan cara memaparkan wacanan, namun dinyanyikan dengan cara berteriak melalui suara khas melengking tanpa iringan musik. Biasanya kesenian ini dimainkan oleh empat sampai enam orang pemain laki-laki. Selebihnya akan mengulangi perkataan dalang dengan nadi tinggi atau yang disebut sebagai juru mamaos.
Baju yang digunakan adalah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat. Ciri khas kesenian ini terletak pada suara melengking (nga-Gaok) dan saling balas alukan komentar atau improvisasi suara yang dilakukan oleh beberapa orang.
Dulunya gaok dibawakan tanpa iringan musik. Seiring perkembangannya dilengkapi dengan alat musik berupa songsong (bambu) dan buyung (tempat menyimpan air dari tembaga). Namun iringan tersebut, hanya digunakan sebagai pembuka saja. Saat ini, gaok sendiri ada yang sudah diiringi beberapa alat musik seperti kecapi, rebab, kendang, dan gong.
Seni gaok dulunya dipertunjukkan pada saat tertentu. Seperti pada upacara Babarit Pare atau syukuran ketika padi akan dipanen dan juga pada ritual Ngayun atau acara syukuran kelahiran bayi yang sudah memasuki usia 40 hari. Kemudian gaok berkembang menjadi biasa dipentaskan pada acara sunatan, khitanan, pernikahan dan lainnya.
Baca Juga: Tari Beskalan, Seni yang Bermula Penari Jalanan
Dalam pertunjukannya, seni gaok lebih sering dibawakan tanpa panggung dengan membawakan suatu cerita (babad). Cerita tersebut dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (bacaan) yaitu cerita yang ditulis dalam puisi tradisional atau pupuh.
Satu wawacan atau satu (episode) cerita secara keseluruhan terdiri dari 17. Namun biasanya hanya dibawakan sebagian saja. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdangggula, yang dalam dunia sastra Sunda disebut pupuh besar. Pupuh tersebut bercerita tentang Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Samun dan lainnya.
Diujung Kepunahan
Memasuki tahun 2000-an, Gaok sudah jarang dipentaskan. Salah satu sebabnya karena kemajuan zaman. Selain itu, para penutur Gaok sudah banyak yang meninggal, sebagian masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi karena faktor usia
Salah satu seniman gaok yang masih tersisa adalah Bah Rukmin yang berasal dari Kampung Tari Kolot, Desa Kulur, Kecamatan Majalengka. Bah Rukmin adalah murid langsung dari Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok sejak tahun 1963.
Dulunya dia belajar Saninta sebagai pengajar vokal dan Syukur sebagai pengajar bahasa Arab. Karena dulu naskah gaok ada yang ditulis menggunakan huruf Arab Pegon. Setelah menguasai kesenian tersebut, ia kemudian mulai mengembangkan seni gaok.
Baca Juga: Thong-Thong Lek, Seni Tradisi Hiasi Bulan Ramadhan
Dirangkum dari detik.com, Fakhrurozi, seorang peneliti etnografi menjelaskan beberapa upaya yang dilakukan untuk melestarikan seni goak. Salah satunya yaitu dengan mendirikan sanggar “Sinar Kiara Rambay”. Selain itu pada tahun 2000-an, ia juga pernah menambahkan unsur musik, lagu, dan komedi.
Upayanya cukup membuahkan hasil. Beberapa penonton kembali tertarik dan antusias pada seni ini. Namun, saat ini eksistensi gaok di Majalengka sudah mulai menurun kembali. Hingga kini masih belum ada penerus yang konsisten untuk melanjutkan kesenian ini.
(Ditulis dari berbagai sumber)