Iman Soleh berharap mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap tradisi yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial.
Di balik hiruk-pikuk terminal Ledeng, Jalan Setiabudi, Bandung, Jawa Barat yang ramai, terdapat sebuah pusat budaya bernama CCL (Centre Culture of Ledeng). Markas komunitas CCL di Gang Bapak Eni ini penuh dengan suasana tenang, dikelilingi pohon-pohon rindang dan kicauan burung.
Di sinilah Iman Soleh, seorang seniman yang belajar seni sejak kecil, menemukan jalannya.Iman Soleh yang lahir di Bandung, 5 Maret 1966, saat ini menjadi dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
CCL pun menjadi wadah Iman Soleh dan komunitasnya mempertahankan kebudayaan melalui berbagai event seni, dengan panggung teater yang terawat sebagai pusat kegiatan mereka.
Hargai Keberagaman
Melansir dari dari indonesiakaya.com, Iman Soleh mengingatkan bahwa ia tumbuh dalam lingkungan kesenian yang kaya, di mana banyak tetangganya terlibat dalam seni tradisional seperti wayang, longser, dan calung. Sejak kecil, ia sudah terlibat dalam kegiatan seni di lingkungan RT/RW dan masjid, yang mengasah bakatnya.
Pada tahun 1983, Iman mulai lebih serius menggeluti seni teater dengan bergabung di STB (Study Club Teater Bandung), di mana ia bertemu dengan banyak seniman besar yang menjadi gurunya, seperti Suyatna Anirun, Arifin C Noer, dan WS Rendra.
Bagi Iman Soleh, seni teater bukan hanya sekadar ekspresi pribadi, tetapi juga cara untuk memahami dan menghargai keberagaman. Ia melihat teater sebagai seni yang paling jujur karena melibatkan tubuh, pikiran, ucapan, dan tindakan.
Seni ini, menurutnya, memiliki potensi untuk menjadi alat perlawanan dan penyadaran terhadap ketidakadilan yang ada di masyarakat. Teater juga memungkinkan para seniman untuk lebih dekat dengan penonton, menjadikan pertunjukan sebagai pengalaman bersama.
Baca juga: Huriah Adam: Seniman Tari Legendaris Padang Panjang
Baca juga: Doel Sumbang, Kembali Terkenal Setelah Viral
Isu Agraria
Iman Soleh memperdalam ilmunya dengan belajar di luar negeri. Dari 1998 hingga 2006, ia menjelajahi berbagai negara di Asia dan Eropa, termasuk Jepang, Filipina, dan Prancis. Pengalaman ini semakin memperkaya pemahamannya tentang seni teater.
Bersama komunitas CCL, Iman Soleh pernah tampil di berbagai tempat, termasuk di Lahore, Pakistan, dan melakukan pentas keliling di Jakarta dan Australia. Sejak mendirikan CCL pada 1998, Iman Soleh menghasilkan berbagai karya teater yang menyuarakan masalah sosial dan kebudayaan.
Karya-karya seperti “Air Burung”, “Indonesia Menggugat”, dan “Tanah Ode Kampung Kami” mencerminkan perhatian Iman terhadap isu-isu lokal, termasuk ketidakadilan terhadap petani dan masalah agraria di Indonesia.
Dalam setiap pertunjukan, ia berusaha menyertakan elemen tradisi Sunda, menjadikan kesenian tidak hanya relevan bagi masyarakat tetapi juga mendekatkan mereka dengan akar budaya mereka. Hal ini tak terlepas dari kecintaannya terhadap kesenian tradisi yang eksis di kampung halamannya, yaitu wayang, pencak silat, longser nagrak,calung, kesenian mesjid, sandiwara dan tagonian
Ruang Berkesenian
Iman Soleh juga menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kebebasan berkesenian di tengah kekangan Orde Baru, di mana kelompok seni harus melapor terlebih dahulu kepada pihak berwajib. Meskipun ada hambatan, ia terus berkesenian dengan keyakinan bahwa seni teater adalah medium kuat menyuarakan protes terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan mendirikan CCL di halaman rumahnya, Iman Soleh tidak hanya menciptakan ruang berkesenian, tetapi juga mengembalikan kesenian tradisional kepada masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Ia percaya bahwa Indonesia memiliki tradisi yang kaya, namun sayangnya banyak yang kurang menghargai dan mempelajarinya.
Melalui CCL, Iman berharap dapat mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap tradisi mereka dan memperkenalkan kembali seni sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial yang tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga bagian dari perasaan dan pemikiran masyarakat. (Diolah dari berbagai sumber)