Nama Soesalit Djojoadhiningrat barangkali terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal, ia adalah anak semata wayang dari Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan yang begitu dikenal dan dihormati dalam sejarah bangsa.
Sayangnya, kisah hidup Soesalit justru tertutup kabut dan nyaris terlupakan, bahkan penuh dengan pahit getir sejak lahir hingga wafat.
Ditinggal Ibu Empat Hari Setelah Lahir
Soesalit Djojoadhiningrat lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 13 September 1904.
Ia merupakan buah hati dari pernikahan RA Kartini dengan RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Bupati Rembang saat itu.
Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Empat hari setelah melahirkan, RA Kartini wafat, meninggalkan Soesalit kecil tanpa belaian seorang ibu.
Baca Juga: Sejarah Hari Kartini, 21 April dalam Lintasan Emansipasi Perempuan
Tragedi kembali menyelimuti hidup Soesalit ketika ia berusia delapan tahun, tepatnya saat ayahandanya meninggal dunia.
Sejak itu, ia menjadi yatim piatu dan dibesarkan neneknya, Ngasirah, serta kakak tirinya yang tertua, Abdulkarnen Djojoadhiningrat.
Abdulkarnen kemudian berperan penting dalam hidup Soesalit, yaitu menanggung biaya pendidikan dan menuntunnya dalam berbagai pilihan hidup.
Dari Sekolah Elite Hingga Polisi Rahasia
Layaknya sang ibu, Soesalit mengenyam pendidikan tinggi.
Ia lulus dari Europe Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, dan sempat menempuh pendidikan hukum di Rechtshoogeschool (RHS) di Batavia.
Meski hanya setahun di RHS, ia cukup lama bekerja sebagai pegawai pamong praja kolonial.
Perjalanan hidup Soesalit memasuki babak baru ketika ditawari posisi di Politieke Inlichtingen Dienst (PID), polisi rahasia Hindia Belanda yang memata-matai kaum pergerakan nasional dan spion asing.
Bekerja di PID menempatkan Soesalit dalam dilema, sebab di satu sisi ia mengabdi pada pemerintahan kolonial, namun di sisi lain ia sadar bahwa tugasnya berarti menentang bangsanya sendiri.
Menjadi Pejuang dan Panglima
Saat Jepang menguasai Indonesia, Soesalit keluar dari PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), tentara sukarela bentukan Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia turut berjuang dalam medan perang.
Ia pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III Diponegoro, dan bahkan melakukan gerilya di wilayah Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II.
Baca Juga: Fadli Zon Resmi Tetapkan Hari Keris Nasional
Namun, karier militernya kemudian merosot. Pangkat Mayor Jenderal yang sempat ia sandang diturunkan menjadi Kolonel, dan Soesalit dipindahkan ke Kementerian Perhubungan.
Puncak penderitaan datang saat namanya terseret dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Meski tidak pernah diadili secara resmi, Soesalit dituduh terlibat dalam gerakan itu karena kedekatannya dengan tokoh dan laskar kiri.
Ia pun dijadikan tahanan rumah. Nama Soesalit muncul dalam dokumen yang disita, disebut sebagai “orang yang diharapkan” kelompok pemberontak.
Dibebaskan Soekarno, Hidup Dalam Bayang-bayang
Presiden Soekarno kemudian membebaskan Soesalit, namun hidupnya tak lagi sama.
Ia tak lagi menjabat panglima, dan hanya menjabat sebagai perwira staf Angkatan Darat di Kementerian Pertahanan.
Di masa Kabinet Ali Sastroamodjojo I (1953–1955), ia menjabat sebagai Penasihat Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri dengan pangkat Kolonel—meski tak lagi aktif di militer.
Soesalit wafat pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang (RSAP).
Ia meninggalkan seorang istri, Siti Loewijah, dan seorang anak laki-laki, Boedi Setyo Soesalit.
Dari Boedi, lahir lima cucu yang diberi nama Kartini, Kartono, Rukmini, Samimum, dan Rachmat.
Namun, kehidupan keturunan Soesalit tak berbanding lurus dengan nama besar RA Kartini.
Dalam sebuah sambutan Bupati Jepara Ahmad Marzuki saat Peringatan Hari Kartini ke-39 pada 2018, ia mengungkapkan kondisi mereka.
“Hanya yang pertama yang lumayan, sedangkan Kartono mengojek, demikian pula Samimun juga jadi tukang ojek. Sementara Rukmini telah ditinggal suaminya yang bunuh diri akibat terlilit ekonomi, dan Racmat yang menderita autis sudah meninggal,” tutur Bupati Jepara Ahmad Marzuki saat memberi sambutan pada Resepsi Peringatan Hari Kartini ke-39 Tahun 2018 di Pendapa Kabupaten Jepara, dikutip dari situs resmi Pemprov Jateng, Sabtu (21/4/2024).
Warisan Pesan untuk Anak Cucu
Meski hidup dalam bayang-bayang sejarah, Soesalit tak pernah menginginkan anak cucunya hidup dengan kebanggaan semu atas garis keturunan.
Salah satu pesan terakhirnya adalah:
“Jangan pernah membanggakan diri hanya karena menjadi anak RA Kartini. Hidup harus dengan rendah hati.”
Baca Juga: Salatiga Jadi Panggung Budaya Dunia, Siswa Korea dan Lokal Berkolaborasi
Kini, kisah Soesalit Djojoadhiningrat menjadi bagian dari babak yang lama terabaikan dalam sejarah bangsa.
Ia bukan hanya putra seorang pahlawan nasional, tapi juga manusia yang pernah jatuh, bangkit, dan terpinggirkan, namun tetap setia pada jalan hidupnya.