Di balik kemegahan Candi Borobudur yang menjulang di antara hijaunya perbukitan Kedu, tersimpan kisah pengabdian lintas generasi dari satu keluarga yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat warisan budaya dunia itu.
Werdi (72), warga Desa Candirejo yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kompleks candi, menyebut dirinya “dilahirkan untuk merawat Borobudur.”
Selama lebih dari 50 tahun, Werdi mengabdikan hidupnya demi menjaga batu-batu andesit yang menjadi bagian dari monumen Buddha terbesar di dunia ini.
Ia adalah salah satu dari ratusan pekerja yang terlibat dalam proyek pemugaran besar Candi Borobudur pada periode 1973–1983, saat kondisi struktur bangunan dinyatakan dalam situasi mengkhawatirkan.
Namun perjuangannya tak berhenti saat masa aktifnya berakhir.
Setelah pensiun pada 2010, estafet keilmuan dan semangat pelestarian itu dilanjutkan putranya, Eka Sumitra (41), yang kini bertugas sebagai pemelihara candi.
“Saya ingin menjadi penerus Bapak. Siapa lagi kalau bukan kita sebagai anak muda yang melanjutkan pelestarian Borobudur,” ujar Eka dikutip dari bbc.com.
Baca Juga: Candi Borobudur dan Teknologi Interlock, Arsitektur Hebat Tanpa Semen
Perjuangan dari Batu ke Batu
Werdi mengenang awal keterlibatannya sebagai pengalaman penuh tantangan.
Ia pertama kali bergabung dalam proyek pemugaran Borobudur pada usia 20 tahun, tanpa pengetahuan sedikit pun soal arkeologi atau teknik pemugaran.
“Awalnya saya hanya ingin bekerja. Tapi lama-kelamaan, saya mulai menyayangi Borobudur. Rasanya seperti punya hubungan batin,” tuturnya.
Saat itu, dinding-dinding candi yang miring hingga 60 sentimeter mengancam runtuhnya bangunan bersejarah itu.
Bersama tim, Werdi melakukan anastilosis atau teknik rekonstruksi yang menuntut ketepatan tinggi, tanpa menggunakan perekat modern.
Ia bahkan mengaku kerap tak bisa tidur memikirkan kesempurnaan susunan batu, yang semuanya harus pas secara vertikal dan horizontal agar tidak ada rongga sekecil apa pun.
“Saya merasa sangat bangga. Dari nyaris roboh hingga kembali berdiri megah. Itu hasil kerja keras kami semua,” ujarnya.

Ancaman Vandalisme dan Perubahan Iklim
Namun kerja keras Werdi dan generasinya menghadapi tantangan baru.
Ribuan noda permen karet, coretan, serta bekas cungkilan pada relief menjadi momok yang mengancam kelestarian Borobudur.
Museum dan Cagar Budaya (MCB) mencatat lebih dari 3.000 titik noda permen karet tersebar di seluruh permukaan lantai dan ornamen candi.
“Itu menyakitkan sekali. Kami susah payah merawat, tapi ada yang seenaknya merusak,” ucap Werdi.
Selain itu, paparan zat kimia, perubahan suhu ekstrem, hingga mikroorganisme turut mempercepat proses degradasi material batu.
Menanggapi situasi ini, pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan perlindungan, mulai dari sistem reservasi kunjungan, pembatasan jumlah wisatawan, penggunaan alas kaki khusus, hingga edukasi publik.
“Kami memandang pelestarian Borobudur sebagai prioritas strategis,” kata Febrina Intan, Direktur Utama PT Taman Wisata Candi (TWC), yang kini berada di bawah naungan InJourney Destination.

Warisan Ilmu untuk Generasi Selanjutnya
Bagi Eka, peran sebagai pemelihara Borobudur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa.
Ia mempelajari banyak hal dari ayahnya, mulai dari seluk-beluk batu candi hingga nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam relief.
Tak hanya itu, ia pun berharap anaknya kelak meneruskan perjuangan yang telah dirintis kakek dan ayahnya.
“Saya berharap anak saya jadi arkeolog, supaya ada kesinambungan dari generasi ke generasi. Kami ingin Borobudur tetap hidup dan terjaga,” ungkapnya.
TWC pun menyambut semangat ini dengan menggagas program pertukaran ke situs warisan dunia lain seperti Angkor Wat atau Machu Picchu, serta mendatangkan pakar-pakar konservasi untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
Baca Juga: Candi Borobudur di Magelang dan Perjalanan Sejarah Penemuannya
Candi Borobudur: Jejak Agung Nusantara
Candi Borobudur, yang dibangun Dinasti Syailendra pada abad ke-8, sempat terlupakan selama berabad-abad akibat letusan Gunung Merapi dan pergeseran pusat kekuasaan ke Jawa Timur.
Baru pada 1814, situs ini kembali ditemukan Thomas Stamford Raffles dan mulai dipelajari secara sistematis.
Pemugaran besar-besaran dilakukan pertama kali Theodore van Erp pada awal abad ke-20, dan dilanjutkan dengan pemugaran kedua pada 1973 oleh pemerintah Indonesia bersama UNESCO.
Candi ini kemudian ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia pada 1991.
Kini, di tengah tantangan zaman, semangat pelestarian tetap menyala melalui tangan-tangan seperti Werdi dan keluarganya.
Mereka bukan hanya merawat batu, tetapi menjaga peradaban, sejarah, dan jati diri bangsa.
“Borobudur adalah mahakarya. Bukan hanya milik Indonesia, tapi dunia. Dan kami, keluarga saya, merasa terhormat menjadi bagian dari penjagaannya,” pungkas Werdi.
