Suriname, sebuah negara kecil di pesisir utara Amerika Selatan, menggelar pemilihan umum pada Minggu, 25 Mei 2025.
Meski jarang disorot, Suriname menyimpan segudang keunikan yang membuatnya istimewa, termasuk jejak kuat etnis Jawa yang masih terasa hingga kini.
Terletak di antara Guyana dan Guyana Prancis, Suriname memiliki luas sekitar 163.820 kilometer persegi dan dihuni 634.000 jiwa menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2024.
Sebagian besar penduduk tinggal di dataran rendah pesisir, khususnya di ibu kota Paramaribo.
Baca Juga: Lelagon Bocah, Upaya Menanamkan Budaya Jawa pada Anak Melalui Lagu
Salah satu ciri khas Suriname yang menonjol adalah keberagaman etnisnya.
Negara ini merupakan bekas koloni Belanda yang merdeka pada tahun 1975.
Komposisi penduduknya mencakup keturunan India Hindustan, Kreol, Maroon (keturunan budak Afrika), penduduk asli Amerika, warga keturunan Belanda, dan tentu saja komunitas keturunan Jawa yang cukup besar.
Tak sedikit dari mereka yang masih fasih berbahasa Jawa, sebuah warisan budaya dari para leluhur yang dibawa sebagai buruh kontrak pada masa penjajahan Belanda.
Mengutip laporan AFP, pemilu tahun ini akan menjadi ajang penting bagi Presiden Chan Santokhi yang kembali mencalonkan diri.
Ia berasal dari Partai Reformasi Progresif (VHP) yang dulunya merepresentasikan komunitas Indo-Suriname, namun kini mulai merangkul seluruh kelompok etnis secara inklusif.
Di Suriname, presiden dipilih parlemen melalui sistem suara mayoritas dua pertiga.
Dari segi ekonomi, Suriname dulunya mengandalkan tambang bauksit.
Kini, sektor pertambangan emas mendominasi dengan menyumbang lebih dari 75 persen ekspor nasional menurut Bank Dunia.
Penemuan cadangan minyak lepas pantai pada 2020 menjadi harapan baru bagi negara ini.
Perusahaan energi asal Prancis, TotalEnergies, dijadwalkan akan mulai mengebor pada tahun 2028.
Demi pemerataan, pemerintah bahkan meluncurkan program “Royalti untuk Semua Orang” pada Mei 2025, memberikan dana sebesar 750 dolar AS (sekitar Rp12,3 juta) ke setiap warga.
Namun, tantangan belum usai. Sebanyak 17,5 persen populasi masih hidup dalam kemiskinan.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam juga menimbulkan persoalan seperti penambangan ilegal dan pencemaran lingkungan.
Meski demikian, Suriname menjadi salah satu dari sedikit negara yang berstatus karbon negatif, berkat hutan hujan Amazon yang menutupi lebih dari 90 persen wilayahnya.
Negara ini menyerap lebih banyak karbon dibandingkan yang dihasilkannya, dan menjadi rumah bagi lebih dari 5.000 spesies flora dan fauna.
Cagar Alam Suriname Tengah menjadi tempat tinggal bagi satwa langka seperti jaguar, kungkang, tapir, hingga aneka jenis burung dan primata.
Di balik kekayaan alam dan etnisnya, sejarah Suriname juga mencatat tokoh kontroversial, Desi Bouterse.
Mantan presiden ini dua kali dihukum penjara atas kasus perdagangan kokain dan pelanggaran HAM.
Ia dikenal memimpin kudeta militer tahun 1980 dan kembali menjabat secara demokratis pada 2010.
Namun, hingga akhir hayatnya pada 2024, Bouterse belum menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atas keterlibatannya dalam pembunuhan politik pada 1982.
Baca Juga: Kemendikdasmen Perkuat Literasi dan Sastra di Jawa Tengah
Tak hanya itu, Suriname juga memiliki kontribusi besar dalam dunia sepak bola, khususnya di Belanda.
Nama-nama legendaris seperti Frank Rijkaard, Ruud Gullit, Clarence Seedorf, dan Edgar Davids merupakan keturunan atau kelahiran Suriname.
Generasi muda pun tak kalah membanggakan, dengan nama-nama seperti Virgil van Dijk, Georginio Wijnaldum, Denzel Dumfries, Xavi Simons, hingga Patrick Kluivert menghiasi panggung sepak bola internasional.
Dari keberagaman budaya hingga prestasi global, Suriname adalah contoh nyata bagaimana sejarah migrasi dan kolonialisme melahirkan masyarakat multietnis yang dinamis.
Di tengah gelaran pemilu 2025, negeri kecil ini kembali menjadi sorotan dunia, terutama bagi Indonesia yang memiliki ikatan sejarah dengan komunitas Jawa di sana. (Diolah dari berbagai sumber)