Islam Suku Sasak di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, telah mengenal tradisi Bekayat (membaca hikayat) sejak kerajaan Hindu-Buddha berkuasa. Sampai saat ini tradisi itu masih lestari di tengah masyarakat. Tradisi membaca hikayat dengan istilah bekayat yang secara bahasa berarti membaca dan berkisah. Selain itu juga sebagian warga menyebutnya dengan memaca.
Amaq Dah, seorang pemaca (penembang), dikutip dari Infopublik.id beberapa waktu lalu, menyebutkan acara bekayat merupakan tradisi membaca kitab-kitab kuno berbahasa melayu di atas daun lontar atau kertas biasa pada acara-acara tertentu. Misalnya pada perayaan Maulid Nabi, tradisi sunatan, ngurisan, perkawinan hingga kematian.
Amaq menuturkan bahwa, tradisi bekayat ini sejak lama dilakukan masyarakat suku Sasak, seperti pada perayaan maulid, isra mi’raj, sunatan, perkawinan dan pada acara selamatan kematian.
Baca juga: Peresean, Atraksi Pertarungan Mendatangkan Hujan
Membaca Pustaka Kuno
Di Lombok Barat, naskah sastra yang ditulis di atas daun lontar ini biasa disebut Takepan. Naskah yang mayoritas ditulis menggunakan Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Sasak, dan Bahasa Sansekerta itu merupakan simbol keberagaman budaya yang berpadu menjadi satu dan kaya akan makna.
Penembang naskah ini pun menjelaskan, dalam pembacaan pustaka kuno yang diperkirakan berumur ribuan tahun ini dimainkan empat orang dengan mengenakan pakaian adat Suku Sasak atau mengenakan pakaian muslim adat Sasak.
Masing-masing disebut pemaca (penembang), piteges (penerjemah), penyarub (penyambung), dan pemboa (pendengar) yang bercerita tentang perjalanan spiritual nabi, termasuk pula pesan-pesan kehidupan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup bersama manusia lainnya.
Baca juga: Nyongkolan, Prosesi Adat Sasak Demi Jaga Martabat Pernikahan
Intonasi Mendayu-dayu
Pelaksanaan bekayat dilakukan sejak malam hingga menjelang subuh dan tradisi ini sudah ada sejak kerajaan Hindu, bahkan dahulunya tradisi ini dilakukan sebagai media dakwah penyebaran Islam.
Dikatakan Amaq Dah, beberapa kitab yang biasanya dibaca adalah Hikayat Nur, Yatim Mustafa dan Badaruzzaman untuk acara ngurisan, Maulidan sunatan atau perkawinan. Kitab Kifayatul Muhtaj dibaca saat Perayaan Isra’ Mi’raj (kisah naiknya Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsho ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah Salat. Sementara Kitab Qurtubi Kasyful Gaibiyyah yang isinya seputar hakikat kematian serta bagaimana manusia seharusnya mati.
Sebagai ciri khas dari tradisi Bekayat, seoang pembaca hikayat dituntut dan harus mampu menguasai teknik-teknik lantunan dan intonasi membaca yang mendayu-dayu.
Budaya Suku Sasak
Bekayat sebagian dari tradisi dan adat budaya, bekayat juga mengharuskan adanya kemalik beras kuning, air bunga, benang warna hitam dan putih yang ditaruh di atas wadah. “Maknanya, sebersih dan sesuci apapun manusia, pasti terdapat noda dan kesalahan dalam diri yang harus dibersihkan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan,” jelas Amaq Dah.
Ia juga menyebut, tradisi bekayat (membaca hikayat) saat ini perlu diperkenalkan kepada generasi masa kini. Jika tidak, tradisi ini dikhawatirkan akan punah dimakan zaman. “Membaca hikayat ini dimaksudkan untuk memperkenalkan dan menggugah pengetahuan generasi muda tentang warisan budaya Suku Sasak,” tutur dia