Upacara Bekakak bertujuan untuk memohon keselamatan dan untuk menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Diadakan setiap tahun pada bulan Sapar (menurut kalender Jawa), upacara ini menarik banyak pengunjung baik warga lokal maupun luar daerah.
Sering juga disebut Saparan, sebab upacara ini diadakan pada bulan Sapar. Tradisi ini sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Kelurahan Ambarketawang, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman.
Kata Sapar sendiri identik dengan Arab Syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Sedangkan Bekakak diartikan sebagai korban penyembelihan hewan atau manusia, namun hanya tiruannya saja, berujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.
Upacara ini diadakan atas perintah P. Mangkubumi. Tujuannya untuk menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Waktu penyelenggaraan upacara Saparan Gamping telah ditetapkan, ialah setiap hari Jumat dalam bulan Sapar antara tanggal 10 dan 20 pada pukul 14.00. Sementara penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00, dengan tempat upacara disesuaikan.
Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu Saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan bekakak sendiri dari tepung ketan dan juruh bisa memakan waktu kurang lebih 8 jam. Bentuk bekakak ini bergaya pengantin Solo dan Yogyakarta.
Hal unik dari persiapan bekakak adalah semua pengerjaannya dilakukan oleh pria. Sedangkan untuk menyiapkan bahan dilakukan oleh wanita.
Sesaji upacara ini dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara.
Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih, nasi liwet, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng, tumpeng urubing dhamar, pecel pitik, dan masih banyak lainnya.
Salah satu tahapan pada upacara ini adalah Midodareni. Kata midodareni berasal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Maknanya bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak.
Tahap midodareni berlangsung pada malam Jumat. Biasanya juga diadakan malam tirakatan serta hiburan wayang kulit. Selanjutnya dilakukan prosesi kirab pengantin, merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan.
Setelah arak-arakan tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama akan memanjat doa. Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong untuk dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain.
Arak-arakan kemudian dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua, kemudian dibagikan kepada pengunjung. Terakhir, ada proses Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang. Lalu dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai dilepaskannya sepasang burung merpati putih. (Anisa Kurniawati-Sumber: budaya-jogjaprov-go-id)