Kota Singkawang, yang terletak sekitar 145 km dari ibu kota Kalimantan Barat, memiliki daya tarik yang tak kalah menakjubkan. Atmosfernya mengingatkan pada Negeri Tirai Bambu, Tiongkok, sehingga kota ini sering disebut sebagai Kota Seribu Kelenteng. Sebutan ini mencerminkan banyaknya vihara, kelenteng, dan cetiya yang ada di kawasan ini.
Berdasarkan informasi dari Antara, pada tahun 2014 tercatat sekitar 704 bangunan vihara dan cetiya di Singkawang. Keberadaan banyaknya tempat ibadah ini terkait erat dengan mayoritas penduduk yang merupakan keturunan Tionghoa yang memeluk Buddha dan Konghucu.
Kehadiran etnis Tionghoa di Singkawang berperan penting dalam sejarah perkembangan kota. Gelombang kedatangan mereka diperkirakan terjadi lebih dari 2,5 abad yang lalu, dipicu oleh adanya sumber daya emas di Monterado, yang terletak di sebelah timur Singkawang. Para pekerja Tionghoa awalnya datang ke Monterado sebagai buruh tambang emas dan pedagang, namun mereka juga singgah di Singkawang dalam perjalanan mereka.
Sejak tahun 1740, orang-orang Tionghoa mulai bekerja di pertambangan emas di bawah Sultan Sambas. Singkawang tidak hanya berfungsi sebagai tempat singgah, tetapi juga sebagai titik transit bagi pengangkutan hasil tambang emas. Dengan perkembangan yang cukup strategis, banyak penambang Tionghoa yang beralih profesi menjadi petani dan pedagang, hingga akhirnya memilih untuk menetap di kota ini.
Walaupun tidak sepadat Pontianak, lanskap Kota Singkawang sangat menarik, terutama dalam pandangan feng shui. Kota ini dikelilingi oleh laut, gunung, dan sungai, yang menurut kepercayaan Tionghoa sangat penting untuk pertanian dan perdagangan. Ini menjadi alasan dibalik pemilihan nama “Singkawang”.
Dalam bahasa Hakka, Singkawang berasal dari istilah “San Khieu Yong” atau “San Kew Jong,” yang berarti gunung, muara, dan laut. Nama ini pertama kali dicatat oleh penjelajah Eropa dalam buku *The Eastern Seas* sebagai “Sinkawan.”
Setelah penambangan emas di Monterado mulai meredup, Singkawang berkembang menjadi pemukiman yang semakin maju. Pada tahun 1981, statusnya diubah menjadi Kota Singkawang secara administratif.
Kota Singkawang juga dikenal sebagai rumah bagi etnis Tionghoa terbesar di Indonesia dan telah dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia oleh Setara Institute pada tahun 2018. Penduduknya yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu hidup berdampingan dengan harmonis.
Di kota ini, berbagai tradisi tahunan khas Tionghoa seperti Cap Go Meh, Perayaan Imlek, dan Ceng Beng dirayakan dengan semarak. Kolaborasi antara budaya Tionghoa dan Dayak dapat dilihat dalam Pawai Tatung, yang diakui sebagai pawai terbesar di dunia. Festival tahunan ini diadakan selama perayaan Cap Go Meh di Singkawang, memberikan kesempatan bagi masyarakat dan wisatawan untuk merasakan keindahan budaya yang beragam. (Achmad Aristyan- Sumber: kemenparekraf.go.id)