Ebeg, kesenian kuda lumping atau jaran kepang yang berasal dari Banyumas. Kesenian tradisional ini menggunakan boneka kuda terbuat dari anyaman bambu dan kepalanya diberi ijuk sebagai rambut. Tarian Ebeg sendiri menggambarkan kegagahan dan keberanian prajurit perang yang sedang menunggang kuda diiringi musik gamelan dan lagu-lagu Banyumas.
Kata Ebeg sudah biasa dikenal di wilayah Banyumas. Di daerah lain, ebeg mirip dengan kesenian kuda lumping, jathilan, jaran dhor, atau barongan. Dikutip dari epsos.id, Kesenian ini telah berkembang sejak meletusnya Perang Diponegoro (1925-1930).
Pemain ebeg biasanya terdiri dari 5-8 personel. Properti yang digunakan berupa jaranan atau kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Terkadang juga dihidangkan sesaji berupa bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya.
Tarian Perang
Tarian ini melambangkan dukungan rakyat terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan imperialisme kolonial Belanda. Dilansir dari laman klampok.id, kesenian tari Ebeg sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu. Kesenian ini lahir pada masa kekuasaan Raja Sri Aji Wurawari, Penguasa Lwaram, kerajaan kecil di bawahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno.
Tarian Ebeg muncul sebagai bentuk perayaan kemenangan kerajaan Lwaram yang bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya terhadap Mataram Kuno pada Tahun 991-992 M. Pada saat itu kerajaan sekutu dipimpin oleh Raja Dharmawangsa.
Beberapa tahun kemudian, Airlangga, menantu Raja Dharmawangsa balas dendam dan menewaskan penguasa Lwaram. Setelah meninggalnya Raja Wurawari, Ebeg masih dipentaskan.
Kemudian, tarian mulai melibatkan makhluk dari dimensi lain yang disebut indang (pamong atau pengasuh). Salah satu kebiasaan wajib dalam pementasan kesenian Ebeg yakni sesaji atau menyan.
Sesaji menjadi sebuah persembahan kepada para arwah dan penguasa makhluk halus agar mau mendukung pementasan. Sehingga penari Ebeg menari dalam kondisi kesurupan yang dalam bahasa Banyumas disebut wuru atau mendem.
Konon, pada sesi kesurupan bermakna memanggil roh Raja Wurawari dan para prajurit yang gugur dalam peperangan. Selain itu, bertujuan untuk mengenang kejayaan dan kemenangan Raja Wurawari ketika mengalahkan Raja Dharmawangsa.
Baca juga: Festival Khentongan, Atraksi Wisata Dan Budaya Khas Banyumas
Pertunjukan Ebeg
Koreo atau rancangan tari di pentas Ebeg tidak rumit. Namun, para penari dituntut bergerak selaras dan kompak sesuai ritme alunan musik gamelan. Pementasannya terdiri dari empat babak yaitu buto lawas yang dilakukan dua kali, babak senterewe dan babak begon putri. Tiap babak pentas ebeg dimulai dengan tari-tarian, janturan dan gapetan dipimpin seorang penimbul/dalang.
Iringan musiknya menggunakan gamelan seperti kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Lagu yang dimainkan berupa lagu Banyumasan, seperti Ricik-Ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, Sekar Gadung Gudril, Blendrong, Lung Gadung, Cebonan, dan sebagainya.
Masyarakat banyak yang mengaitkan kesenian ini dengan hal-hal yang bersifat magis. Hal ini dikarenakan pada saat babak janturan biasanya para pemain kesurupan roh dan kehilangan akal.
Ketika para penari mulai kesurupan, tanpa sadar mereka memakan pecahan kaca, bara api atau benda lainnya yang berada di dekatnya. Bukan hanya pemain, namun penonton juga ada yang kerasukan. Atraksi seni nilah yang menjadikan Ebeg tetap populer dan ditonton masyarakat.
Hingga saat ini Ebeg masih eksis dan menjadi hiburan dalam berbagai acara syukuran, hajatan, acara kebudayaan di daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, dan Banjarnegara.