Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya dalam merealisasikan target perdagangan karbon senilai 65 miliar dolar AS (sekitar Rp1.073 triliun), bukan hanya sebatas rencana.
Pernyataan ini disampaikan oleh Konsul Jenderal RI di Osaka, John Tjahjanto Boestami, yang mewakili Duta Besar RI untuk Jepang Heri Akhmadi, dalam Business Forum on Forest Carbon Trade and Forest Products di Pavilion Indonesia, Osaka Expo 2025, Jumat (9/5).
Menurut siaran pers dari KBRI Tokyo yang diterima pada Minggu (11/5), John menyampaikan bahwa infrastruktur seperti IDXCarbon serta kerja sama bilateral melalui Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan Jepang menjadi fondasi kuat pencapaian target tersebut pada 2028.
“Dengan dukungan infrastruktur seperti IDXCarbon dan kerja sama dengan Jepang melalui Mutual Recognition Arrangement, target tersebut tidak mustahil untuk tercapai pada 2028,” ujar John dilansir dari infopublik.id.
Indonesia dan Jepang telah menandatangani MRA pada 2024 yang memungkinkan kedua negara saling mengakui kredit karbon secara transparan dan kredibel. Dalam forum tersebut juga terungkap bahwa jumlah pengguna IDXCarbon meningkat 22 persen pada kuartal pertama 2025, dengan 111 pengguna aktif dan tujuh proyek yang sudah diperdagangkan.
“Dengan dukungan APHI, para pemegang konsesi hutan Indonesia siap untuk meningkatkan proyek karbon, dari penebangan berkelanjutan yang bersertifikat hingga penanaman bakau. Yang kita butuhkan sekarang adalah lebih banyak kolaborasi, lebih banyak investasi, dan lebih banyak kepercayaan di pasar bersama ini,” katanya.
Baca juga: Fadli Zon Ajak HIPIIS Berperan dalam Kebijakan Publik
Forum turut menekankan pentingnya percepatan implementasi teknis MRA, termasuk validasi, registrasi, serta proses Measurement, Reporting and Verification (MRV) dalam mekanisme Joint Crediting Mechanism (JCM) Jepang dan Sistem Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI).
Peluncuran JCM Implementation Agency (JCMA) oleh Jepang pada April 2025 pun dinilai membuka peluang kerja sama lebih luas, seiring target Jepang mengurangi 200 juta ton emisi melalui proyek JCM.
Disamping membahas mengenai perdagangan karbon, sejumlah kesepakatan kerja sama ditandatangani dalam forum tersebut, mencakup solusi berbasis alam, pelestarian keanekaragaman hayati, pengembangan dan perdagangan biomassa, serta pengiriman tenaga kerja teknis Indonesia ke Jepang.
Termasuk pula penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara APHI dan Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo memaparkan bahwa ekspor produk kayu Indonesia ke Jepang pada 2024 mencapai 301,29 juta dolar AS (sekitar Rp4,9 triliun), didominasi panel kayu, kertas, dan furnitur.
“Panel berbasis hutan alam akan didedikasikan untuk pasar khusus. Selain pengerjaan kayu, kami juga melihat potensi signifikan untuk perluasan pasar furnitur, kertas dan produk energi biomassa,” kata Indroyono.
Secara keseluruhan, ekspor produk kayu Indonesia tahun lalu mencapai 12,63 miliar dolar AS (sekitar Rp208,6 triliun), dengan dukungan Sistem Verifikasi Legalitas dan Keberlanjutan Kayu (SVLK) yang menjamin legalitas dan keberlanjutan produk. Jepang, bersama China, AS, Uni Eropa, dan Korea, menjadi pasar utama dalam ekspor produk kayu nasional.
Business Forum on Forest Carbon Trade and Forest Products ini diselenggarakan KBRI Tokyo bekerja sama dengan APHI, HIMKI, dan IPPA, dan dihadiri perwakilan pemerintah dari Indonesia dan Jepang serta pelaku industri dari kedua negara.