K.H. Abdul Halim, merupakan tokoh organisasi Islam, tokoh pergerakan nasional, ulama besar, dan tokoh pembaharuan di Indonesia khususnya pada bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Pada, 6 November 2008 ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI.
Abdul Halim lahir 26 Juni 1887 di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Nama kecilnya, Otong Syatori. Terlahir dari pasangan Kiai Muhammad Iskandar dan Siti Mutmainah, ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara.
Ayahnya yang diketahui masih keturunan Maulana Hasanudin, anak Sunan Gunung Jati, adalah seorang pesantren dan penghulu di Kawedanan Jatiwangi. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Selanjutnya, dia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.
Dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, membuat Abdul Halim banyak membaca ilmu ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Pendidikannya dimulai dari HIS milik Belanda, kemudian dia melanjutkan pendidikannya ke berbagai pesantren.
Diantaranya Pesantren Ranji Wetan di Majalengka yang diasuh oleh Kiai Anwar, Pesantren Lontong Jaya (Leuwimunding), Pesantren Bobos (Cirebon) yang diasuh oleh KH Sujak, Pesantren Ciwedus (Kuningan) yang diasuh oleh Kiai Ahmad Shobari, Pesantren Kedungwuni (Pekalongan) yang diasuh Kiai Agus.
Disamping belajar di pesantren, dia berjualan aneka produk yang dibutuhkan para santri, seperti sarung, kain batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama Islam. Di usia yang ke 22 tahun, Abdul Halim memutuskan pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman.
Di sana, ia mendapat banyak ilmu melalui para guru yang diantaranya Syekh Mahfudzat-Turmusi, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dan Syekh Ahmad Khayyat. Setelah tiga tahun dia kembali ke Indonesia untuk mengajar.
Mendirikan Organisasi
Pada tahun 1911 sepulangnya dari Mekkah, K.H. Abdul Halim mendirikan lembaga pendidikan Majelis Ilmi di Majalengka. Setahun setelah lembaga pendidikan tersebut berkembang, dia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub.
Organisasi ini juga bergerak di bidang perekonomian. Sehingga anggotanya bukan hanya berasal dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang. Namun, organisasi tersebut mempunyai banyak saingan, khususnya dengan pedagang China yang lebih banyak didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Persaingan tersebut memuncak ketika Pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang China yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya, Hayatul Qulub dibubarkan dan dilarang meneruskan segala kegiatannya.
Setelah organisasi itu dibubarkan, pada 16 Mei 1916, Abdul Halim mendirikan lembaga pendidikan baru bernama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin atau Perkumpulan Pertolongan untuk Pelajar. Setahun kemudian, Ketua Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto memberikan dukungannya, yang akhirnya lembaga tersebut dikembangkan dan diubah namanya menjadi Persjarikatan Oelama atau Perserikatan Ulama.
Pada tahun 1932, Abdul Halim mendirikan Santi Asmoro sebagai bentuk perhatiannya untuk memajukan di bidang pendidikan. Di tempat ini murid-murid dibekali dengan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan juga berbagai keterampilan seperti pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Masa Pendudukan Jepang
Saat pendudukan Jepang, Persjarikatan Oelama dibekukan aktivitasnya pada 1942. Setelah perjuangan yang panjang, pada 1 Februari 1943, organisasi tersebut bisa aktif kembali dengan Abdul Halim menjadi ketuanya. Nantinya POI ini mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Pada mulanya, Abdul Halim kooperatif dengan Jepang, namun kemudian mulai menunjukkan ‘perlawanan’. Dia tidak menganjurkan rakyat membantu Jepang. Bahkan meminta agar Jepang mencetak Alquran yang sangat dibutuhkan masyarakat pada saat itu.
Pada Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota BPUPKI, sebagai anggota Panitia Pembelaan Tanah. Setelah kemerdekaan, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Ia juga pernah diangkatnya menjadi Bupati Majalengka.
Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan. Disamping itu, ia sempat menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Ia juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Periode tahun 1950-an, Abdul Halim menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante. Abdul Halim akhirnya meninggal pada 7 Mei 1962. Atas jasa-jasanya, Abdul Halim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2008. Namanya juga diabadikan menjadi nama jalan protokol di Majalengka. (Ditulis dari berbagai sumber)