Siapa yang tidak mengenal lirik lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”? Selain menjadi karya yang akrab di telinga, ungkapan ini mencerminkan sejarah maritim yang kaya di Indonesia. Salah satu buktinya adalah kapal pinisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya maritim kita.
Kapal pinisi telah ada sejak abad ke-16 dan banyak digunakan oleh pelaut dari suku Konjo, Bugis, dan Mandar yang berasal dari Sulawesi Selatan untuk kegiatan perdagangan. Namun, seiring berjalannya waktu, kapal ini telah bertransformasi menjadi salah satu daya tarik wisata.
Kapal pinisi dapat dikenali dengan mudah di lautan, berkat karakteristiknya yang unik, seperti tujuh hingga delapan layar dan dua tiang utama yang terletak di bagian depan dan belakang. Selain itu, kapal tradisional ini biasanya terbuat dari kayu, dengan empat jenis kayu utama yang digunakan: kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.
Proses pembuatan kapal pinisi berlangsung di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya di tiga desa: Tana Beru, Bira, dan Batu Licin. Metode yang digunakan masih sangat tradisional, dan pembuatan kapal pinisi bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarangan.
Balapan Perahu Sandeq Meriahkan HUT Sulawesi Barat
Pembuatan kapal pinisi terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama meliputi pemilihan hari baik untuk mencari kayu, biasanya jatuh pada hari kelima atau ketujuh bulan pembuatan. Pemilihan hari ini dianggap membawa keberuntungan dan rezeki bagi para pembuatnya.
Pada tahap kedua, kayu yang telah dipilih akan ditebang, dikeringkan, dan dipotong, kemudian dirakit menjadi bagian-bagian kapal. Proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Tahap terakhir adalah peluncuran kapal pinisi ke laut, yang diiringi dengan upacara maccera lopi. Upacara ini melibatkan penyembelihan hewan, di mana jika berat kapal kurang dari 100 ton, hewan yang disembelih adalah kambing, dan jika lebih dari 100 ton, maka sapi yang menjadi pilihan.
Rangkaian pembuatan kapal pinisi menggambarkan nilai-nilai yang mendalam, seperti kerja keras, kerjasama, keindahan, dan penghargaan terhadap alam. Karena alasan ini, kapal pinisi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada tahun 2017.
Dari peranannya sebagai kapal dagang di masa lalu, kapal pinisi kini telah bertransformasi menjadi objek wisata di berbagai destinasi di Indonesia. Kapal ini dapat ditemukan di lokasi-lokasi menarik seperti Kepulauan Raja Ampat, Labuan Bajo, dan yang terbaru, Danau Toba di Sumatra Utara.
Jamu Laut, Tradisi Sakral Nelayan Langkat Menjaga Alam
Danau Toba, yang merupakan danau vulkanik terbesar di dunia, menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan. Di sini, Kamu dapat merasakan keindahan Danau Toba sambil menaiki kapal Pinisi Kenzo.
Kapal Pinisi Kenzo merupakan kapal pinisi pertama yang beroperasi di Danau Toba dan dihiasi berbagai ornamen unik yang mencerminkan budaya Suku Batak. Salah satu ciri khasnya adalah ukiran gorga, seni ukir tradisional Batak Toba yang menggambarkan delapan kabupaten atau kota di sekitar danau. Kapal ini juga dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, mampu menampung hingga 11 orang, dengan empat kamar tidur, toilet, dan mini bar.
Bagi Kamu yang ingin merasakan pengalaman liburan yang berbeda di Danau Toba, kapal Pinisi Kenzo sudah mulai beroperasi sejak bulan Agustus. Dengan paket wisata yang mencakup 11 destinasi selama 3 hari 2 malam, Anda dapat mengunjungi tempat-tempat menarik seperti Parapat, Pantai Agadon, Pantai Sigapiton, Air Terjun Situmurun, Balige, Pondok Berata Dapdap, Pakkodian, Desa Wisata Meat, Bakara, Bukit Holbung, dan Sibea-bea. (Achmad Aristyan – kemenparekraf.go.id)