Kearifan lokal di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, terutama dalam menghadapi bencana. Kearifan lokal masyarakat Indonesia pun dinilai memiliki kemampuan mitigasi bencana yang baik.
Jadi betapa beruntungnya menjadi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, di negara dengan 17.000 pulau ini hidup sekitar 282,2 juta penduduk mengutip data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Juli 2024.
Mereka terbagi ke dalam 1.340 suku bangsa dan 300 kelompok etnik yang telah hidup berdampingan secara damai sejak berabad silam. Keberagaman suku tersebut menciptakan aneka rupa bentuk adat dan budaya serta kebiasaan yang berkembang menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom) tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya.
Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Kearifan lokal muncul sebagai rambu atau panduan dari berbagai asimilasi budaya global yang selalu menghantam kehidupan. Kearifan lokal dapat berupa pengetahuan berasal dari pengalaman nyata masyarakat dalam kurun waktu lama dan dilakukan secara terus menerus.
Bentuknya bisa berupa norma, etika, hukum adat, atau aturan-aturan khusus yang mengikat masyarakat di dalamnya. Salah satunya berkaitan dengan upaya untuk mengurangi risiko bencana atau mitigasi. Sebab, berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023, dari sekitar 4.878 bencana alam yang terjadi telah mengakibatkan 32.809 rumah mengalam kerusakan. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan 2021 saat terdapat 158.659 rumah rusak karena adanya 5.402 peristiwa bencana.
Perubahan iklim yang memunculkan fenomena tingginya intensitas curah hujan di Indonesia menjadi salah satu contoh bencana alam. Curah hujan tinggi itu dalam beberapa aspek dapat menyebabkan banjir, tanah longsor, dan peristiwa alam lainnya.
Kearifan Lokal Benteng Hadapi Bencana
Kearifan lokal dalam banyak hal mampu meredam atau mengurangi dampak bencana. Misalnya masyarakat suku Minangkabau di Sumatra Barat yang membangun rumah gadang. Rumah adat berciri khas seperti tanduk kerbau pada ujung-ujung atapnya itu dibangun menggunakan pasak dari kayu untuk meminimalisasi dampak kerusakan akibat gempa.
Demikian pula kearifan lokal masyarakat suku Badui ketika mereka akan membangun tempat tinggal. Masyarakat yang berdiam di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Luewidamar, Kabupaten Lebak, Banten ini dikenal dengan konsep kehidupan konservasi alam.
Seperti diungkapkan Suparmini dkk dalam “Pelestarian Lingkungan Masyarakat Badui Berbasis Kearifan lokal”, bahan bangunan di Badui haruslah lentur. Selain itu, rumah tidak boleh dibangun langsung menyentuh tanah dan bangunan diikat tali ijuk, sabut kelapa atau kirai agar rumah tidak mudah runtuh saat terjadinya bencana alam atau gempa.
Begitu pula kearifan lokal di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, dengan membangun rumah panggung di pesisir pantai berbentuk panggung setinggi 2-3 meter di atas permukaan tanah yang disebut lamban langgakh. Bangunan ini menjadi kebutuhan mutlak masyarakat pesisir sebagai antisipasi gelombang besar, gempa, dan tsunami. Masih dari Pesisir Barat Lampung, terdapat pula repong damar, yaitu mengelola lahan hutan memakai hukum adat.
Bermanfaatnya kearifan lokal bagi kehidupan masyarakat terutama upaya mitigasi bencana menarik perhatian Kepala BNPB Suharyanto. Jenderal TNI bintang tiga itu berpendapat, pengetahuan dan praktik masyarakat lokal yang mampu hidup berdampingan dengan alam sejak masa lampau dapat menjadi benteng pertahanan kuat menghadapi bencana.
Saat berbicara pada Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) 2024 di Jakarta, Rabu (11/9/2024), Suharyanto mengungkapkan, kearifan lokal masyarakat Indonesia mampu menjaga komunitas dari bahaya bencana karena mampu hidup berdampingan dengan alam.
BNPB saat ini sedang menggiatkan pelatihan simulasi evakuasi mandiri dan ketahanan bencana berbasiskan masyarakat melalui pembentukan desa tangguh bencana (Destana).
Hingga tahun 2024, telah terbentuk 182 Destana. Dalam 5 tahun ke depan ditargetkan terbentuk 3.000 Destana di sepanjang pesisir Indonesia yang berpotensi banjir dan juga diperkirakan para ilmuwan akan terjadi gempa bumi dan tsunami skala megathrust. (Sumber: Indonesia.go.id)