Masyarakat Toraja umumnya membangun Kuang dengan model permukaan bulat atau persegi. Sebagai penanda sekaligus memperkuat struktur
Masyarakat di Nusantara memiliki beragam cara menjaga dan mengelola air secara adil dan lestari untuk kehidupan. Pola dan tradisi itu menciptakan banyak kearifan lokal dan dipertahankan secara turun temurun hingga sekarang. Hal itu terjadi karena mengelola dan melestarikan air memberi banyak manfaat. Selain bagi masyarakat, juga untuk peningkatan hasil pertanian dan peternakan.
Penduduk Toraja di Sulawesi Selatan pun menyimpan kisah kearifan lokal. Hetty Nooy-Palm dalam Introduction to Sa’dan People to Their Country menyebutkan, kata Toraja pertama kali disematkan kolonial tahun 1909. Dalam bahasa Bugis, toraja atau to riaja artinya orang-orang yang bertempat tinggal di negeri atas.
Hal itu setidaknya sejalan dengan informasi di portal resmi milik Pemerintah Provinsi Sulsel di mana suku Toraja tinggal di pegunungan bagian utara dengan populasi sekitar satu juta jiwa. Mereka tersebar di Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. Pada awalnya penduduk Toraja adalah imigran dari pesisir Teluk Tonkin di sekitar Laut Tiongkok Selatan berbatasan dengan Vietnam.
Peneliti antropologi Columbia University, Toby Alice Volkman, dalam penelitiannya mengenai suku Toraja menemukan fakta, mereka hanya memiliki sedikit lahan pertanian produktif karena tinggal di pegunungan. Namun, penduduk Toraja memiliki cara unik untuk bertahan menjaga lahan pertanian padi mereka agar tetap bisa diairi dan memberikan panen. Sebuah sistem irigasi yang jarang ditemukan di seluruh Nusantara berhasil dikembangkan dan bertahan hingga sekarang.
Mereka menyebutnya sebagai Kuang, yaitu sistem pengolahan lahan persawahan tadah hujan dengan membangun sumur-sumur kecil di tengah areal pertanian. Sumur ini dipakai untuk menampung air hujan dan menjadi sumber air minum bagi ternak serta tempat budidaya ikan.
Kuang yang dibangun dengan kedalaman dua meter ini, juga berfungsi sebagai sumber pengairan areal sawah tadah hujan. Kuang efekif saat musim kemarau karena dapat menampung air irigasi.
Baca Juga : Siwar, Alat Tradisional Khas Lahat Sarat Nilai Budaya
Masyarakat Toraja umumnya membangun kuang dengan model permukaan bulat atau persegi. Sebagai penanda adanya kuang di sawah sekaligus memperkuat struktur, pemilik lahan biasanya menahan tepian kuang memakai kayu, bambu, atau tumbuhan berakar serabut yang kuat seperti rumput-rumputan. Ini berguna agar tepian kuang makin kuat dan tidak mudah longsor.
Dalam sepetak lahan seluas minimal dua hektare, para petani menggali tiga lubang untuk dijadikan kuang agar optimal selain untuk keberlangsungan ekosistem. Sebagai kolam budidaya, tiga kuang di tengah sawah diisi aneka ikan. Kuang pertama ditempatkan ikan untuk konsumsi harian, kuang kedua diisi ikan untuk upacara adat dan kuang ketiga diletakkan ikan sebagai lauk saat ada tamu ke rumah.
Kearifan Lokal Parafu
Sementara itu, terpisah jarak ribuan kilometer dari Toraja ada sebuah daerah di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dimana bermukim masyarakat Mbojo sebagai suku asli di Bima. Ridwan dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima dalam penelitiannya berjudul “Ekologi Manusia: Rekonstruksi Moralitas Tradisi Mbojo-Bima, Samawa, dan Sasak dalam Keberlanjutan Lingkungan Hidup NTB” menjelaskan beberapa hal terkait suku Mbojo.
Misalnya, secara kepecayaan masyarakat Mbojo mengenal adanya parafu yakni semacam sumber mata air (mada oi) tertentu. Sebab, tak semua mada oi merupakan parafu. Budayawan Bima bernama Alan Malingi dikutip dari Jurnal Fundamental volume 12 nomor 1 Januari-Juni 2023 menyebutkan, beberapa mata air yang masih dianggap sakral sampai saat ini di antaranya Oi Lanco, Oi Mbou, dan Oi Lombi yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.
Masyarakat Lambitu sangat menghormati pohon-pohon dan bebatuan karena dapat memberikan kelestarian mata air parafu. Ini menunjukkan suku Mbojo mampu memunculkan suasana kelestarian dan perwujudan interaksi antara manusia dengan lingkungan. Sedangkan di Desa Sambori dapat ditemukan parafu di La Ngganci, Sanindi, Dewa Ompu Manda, Matakoda, dan Oi Kalo.
Aturan adat pun dibuat untuk melindungi parafu. Misalnya warga setempat tidak boleh buang hajat sembarangan, tidak boleh menebang tumbuhan sekitar, dan tiap parafu wajib dibersihkan sekali setahun. Ditegakkannya aturan adat memberikan keuntungan bagi keberadaan parafu karena aneka pohon tumbuh subur dan memberi pemandangan berbeda di lereng perbukitan gersang dan tandus. (Artikel diolah dari Indonesia.go.id)