Uroe Tulak Bala atau Rabu Abeh (hari rabu terakhir), merupakan ritual tolak bala serta memohon keselamatan dan keberkahan dari Allah SWT. Tradisi ini sudah berkembang sejak lama dengan tujuan untuk membersihkan kampung dari hal-hal negatif.
Nama “Uroe Tulak Bala” berasal dari bahasa Aceh yang bermakna membawa berkah dan keberuntungan. Tradisi ini dilakukan setiap akhir bulan Safar tepatnya di Tanggal 29 Safar 1435 Hijriyah. Biasanya dilakukan di daerah pantai barat selatan Aceh, khususnya daerah Nagan, Aceh Barat, Aceh Selatan, Singkil dan Aceh Barat Daya.
Tujuannya adalah untuk menolak bala atau musibah. Awalnya ritual tulak bala dilakukan dengan doa bersama di pantai diikuti seluruh masyarakat desa. Seiring perkembangannya, Kenduri Rabu Abeh ini juga menjadi ajang rekreasi keluarga, termasuk anak-anak yang ikut bermain dipantai.
Baca juga: Larung Sesaji Bumi Bukan Hanya Sebuah Tradisi
Tradisi Asyura
Bulan Safar memiliki makna tersendiri bagi sebagian masyarakat Aceh. Karena pada bulan itu, Nabi Muhammad SAW mulai jatuh sakit dan meninggal dunia pada bulan ketiga. Karena alasan itulah, sebagian masyarakat Aceh menganggap bulan safar adalah bulan berbahaya dan penuh musibah.
Sedangkan, berdasarkan pendapat tetua desa, tradisi ini didasarkan pada kitab Kanzun Najah wa as Suruur halaman 24. Sebagian ulama Sholihin Ahl Kasyf (ulama yang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang samar) berkata: “Setiap tahun turun ke dunia 320.000 bala (bencana) dan semua itu diturunkan oleh Allah pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka hari itu adalah hari yang paling sulit.”
Meski demikian, pendapat Ulama Sholihin Ahl Kasyf tidak memiliki dasar hadist yang bisa dipertanggung jawabkan sehingga kepercayaan itu tidak dapat sepenuhnya diterima sepenuhnya. Apalagi bahaya dan musibah hanya ditentukan Allah SWT bukan oleh hari maupun tanggal kalender.
Dikutip dari laman liputan6.com, sosiolog serta Petua Chiek Perkumpulan Prodeelat Aceh, Affan Ramli mengatakan, tradisi Tulak Bala secara historis dengan tradisi Asyura dan Arbain. “Asyura atau tanggal 10 Muharam terjadi pembantaian keluarga nabi di Karbala. Pembantaian itu menyesakkan dada. Seluruh umat Islam kemudian memperingati tiap datangnya Asyura, termasuk di Aceh,” kata Affan.
Menurut Affan, dalam The Price of Freedom The Unfinished Diary karangan Dr Hasan Tiro, diungkap bahwa orang Aceh sudah memperingati tradisi Asyura sejak 500 tahun lalu.
Baca juga: Melihat Tradisi Mandi Bersama Di Kampung Adat Miduana
Simbol Permohonan
Pelaksanaan tradisi Uroe Tulak Bala diawali berkumpulnya seluruh masyarakat desa di pantai untuk melakukan doa bersama. Doa itu untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari Allah SWT.
Terdapat juga prosesi mengarak sesajen dan perlengkapan ritual lainnya. Sesajen kemudian dilarung ke laut atau dikubur sebagai lambang penyucian. Dulunya tradisi ini sangat serius, namun saat ini telah mengalami perkembangan.
Meskipun aspek religius tetap dipertahankan, upacara ini juga menjadi kesempatan berkumpul bersama keluarga. Selain itu, tradisi ini juga mencerminkan solidaritas dan kebersamaan warga.
Upacara Uroe Tulak Bala adalah bagian dari warisan budaya Aceh yang patut dihargai. Meskipun terdapat perbedaan asal-usulnya, makna dari tradisi ini tetap sama yaitu sebagai simbol permohonan dan perlindungan masyarakat Aceh. (Diolah dari berbagai sumber)