KH Manshur adalah salah satu ulama besar yang memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di Wonosobo. Atas kontribusi dan dedikasinya, namanya diabadikan dalam Masjid Al-Mashur Wonosobo.
K.H Mashur lahir pada tahun 1815, dia merupakan putra dari KH Marhamah Bendosari Sapuran dan cucu dari Raden Soetomarto II. Dia juga masih keturunan ke-17 dari Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.
Menurut keterangan pengantar Al-Mashur, pada tahun 1842, KH Manshur diangkat sebagai penghulu kabupaten oleh Bupati Wonosobo, Raden Mangoenkoesoemo. Saat itu dia adalah ulama yang memiliki peran penting dalam bidang agama maupun pemerintahan.
Pada tahun 1880, KH Manshur menunaikan ibadah haji ke Mekah. Lima tahun kemudian, beliau kembali ke tanah air dengan membawa istrinya, Sayyidah Khadijah binti Sayyid Hasyim Ba’abud. Dari pernikahan ini, lahirlah KH Nur pada tahun 1887, yang kelak menjadi ayah dari Haji Moch Sjoekoer.
Pendirian Masjid Al-Mashur Wonosobo
Pada mulanya, Masjid Al-Mashur bernama Masjid Besar Wonosobo. Tempat ini semula berada di sebelah barat alun-alun, lengkap dengan pesantren. Karena dianggap tidak sesuai dengan rencana tata-ruang, akhirnya dipindahkan ke utara, kira-kira 500 m.
Sebagai bentuk dedikasi terhadap Islam, KH Manshur mewakafkan tanah seluas lebih dari 7.000 meter persegi di Kampung Kauman Utara. Di atas tanah itu, pada tahun 1847, mulai dibangun masjid yang menjadi cikal bakal Masjid Besar Wonosobo.
Baca juga: Makam Kyai Walik, Tokoh Penyebar Agama Islam di Wonosobo
Pembangunan ini memakan waktu sekitar sembilan tahun hingga selesai pada tahun 1856. Masjid ini kemudian menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan di daerah tersebut.
“Kemudian nama Masjid Besar Wonosobo diubah menjadi Masjid Al-Mashur untuk mengenang dan menghormati K,H Mashur.” kata Haqqi El Anshory, budayawan dan juga humas Al Mashur.

Perjalanan KH Mashur
Dikutip dari suaramerdeka.com , KH Manshur tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga memiliki peran dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan. Kakeknya, Kiai Asmoroshufi atau Raden Soetomarto II, bersama ketiga cucunya memilih meninggalkan Keraton.
Mereka kemudian bergabung dalam perjuangan melawan kolonialisme di daerah Magelang dan Wonosobo. KH Manshur sendiri berperan di pusat kota Wonosobo, sementara saudara-saudaranya, KH Abdul Fatah dan KH Syukur Sholih, bertugas di daerah Sigedong dan Bendosari.
Selain membangun masjid, KH Manshur juga mendirikan pondok pesantren di sekitar masjidnya. Pesantren ini menjadi pusat pembelajaran Islam bagi para santri dari berbagai daerah. Di kawasan ini juga terdapat institusi pendidikan yaitu SMK Gema Nusantara.
Disamping itu, terdapat juga tradisi tinggalan K.H Mashur yaitu pengajian Setonan. Kegiatan ini diadakan setiap hari Sabtu. Tradisi ini dihadiri ribuan jamaah berkumpul untuk mendapatkan ilmu dari para ulama dan penceramah.
KH Manshur merupakan tokoh yang tidak hanya berkontribusi dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam pembangunan masyarakat. Hingga kini, jejak perjuangan dan dedikasi beliau masih terasa dalam kehidupan masyarakat setempat.