Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terdapat sebuah cerita rakyat tentang Penari Ronggeng Pantura yang sudah dikenal luas masyarakat setempat. Kisah ini mengisahkan tentang dua saudara perempuan bernama Saedah dan Saenih, yang diperlakukan dengan tidak adil oleh ibu tiri mereka.
Begitu bencinya ibu tiri pada kedua anak tirinya, hingga ia meminta suaminya untuk membuang mereka ke tengah hutan. Dalam kecintaan buta pada sang istri, sang ayah pun menuruti perintah dan membuang anak-anaknya di hutan belantara.
Melansir dari warisanbudayanusantara.com, dalam kondisi terbuang dan menderita, Saenih, sang adik, bertemu seorang kakek tua di hutan. Kakek ini menawarkan bantuan dengan sebuah perjanjian.
Dibantu sang kakek, Saenih kemudian menjadi penari ronggeng Pantura (Pantai Utara) yang sangat terkenal. Namun, seiring berjalannya waktu, sang kakek kembali dan menagih janji yang telah dibuat Saenih bertahun-tahun lalu. Akhirnya, Saenih harus memenuhi perjanjian dengan mengubah dirinya menjadi buaya putih, yang konon tinggal di kawasan Sungai Sewo hingga kini.
Kisah Saedah dan Saenih ini bukan hanya merupakan legenda yang populer di Indramayu, tetapi juga dikenal di daerah Cirebon dan Sumedang. Namun, cerita ini sangat lekat dengan Indramayu.
Masyarakat setempat bahkan percaya bahwa hingga saat ini, buaya putih yang merupakan wujud Saenih masih menghuni Sungai Sewo. Kepercayaan ini begitu kental hingga mempengaruhi kebiasaan masyarakat sekitar.
Banyak orang yang melemparkan uang receh saat menyeberangi jembatan Sungai Sewo sebagai bentuk penghormatan kepada penghuni sungai. Jembatan Sewo berada di perbatasan Kabupaten Subang dan Indramayu, Jawa Barat.
Mereka percaya bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan restu dan terhindar dari celaka. Hal ini kemudian memuncukan fenomena penyapu urang receh yang berkerumun di sekitar jembatan untuk memungut uang yang dilemparkan pengendara.
Baca juga : Legenda Kali Mewek dan Kisah Penculikan Ken Dedes
Kisah Mistis
Salah satu peristiwa yang semakin menguatkan kepercayaan ini adalah kecelakaan tragis yang terjadi 11 Maret 1974. Sebuah bus transmigran yang mengangkut penumpang dari Boyolali menuju Sumatera kecelakaan dan menewaskan seluruh penumpangnya saat melintasi Jembatan Sewo.
Masyarakat meyakini bahwa kecelakaan terjadi karena Saenih tidak merestui bus untuk melewati sungai. Meskipun kejadian ini terjadi beberapa dekade yang lalu, kecelakaan-kecelakaan kecil lainnya di sekitar jembatan Sewo tetap memperkuat kepercayaan akan mitos Saenih.
Namun, di balik kisah mistis ini, terdapat pesan moral yang terkandung dalam cerita Saedah dan Saenih. Kisah ini mengajarkan tentang pentingnya peran orang tua dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya. Sebagai orang tua, seharusnya mereka memberikan kasih sayang dan pendidikan yang baik kepada anak-anak mereka, agar mereka dapat menjadi pribadi yang baik dalam masyarakat.
Namun, dalam cerita ini, kegagalan orang tua Saedah dan Saenih dalam menjalankan peran mereka membawa kedua anaknya pada keputusan yang keliru. Perjanjian yang dibuat Saenih dengan makhluk gaib menunjukkan bahwa meminta bantuan pada kekuatan mistis membawa konsekuensi yang berat. (Dari berbagai sumber)