Di sebuah daerah di tanah Bengkalis, Provinsi Riau, hiduplah seorang pemuda bernama Bujang Enok. Pemuda ini dikenal hidup miskin, tanpa orang tua, dan tanpa sanak saudara.
Meski begitu, ia memiliki hati yang mulia dan suka menolong. Sehari-hari, ia mencari kayu bakar di hutan untuk dijual di pasar atau ditukar dengan kebutuhan pokok.
Pertemuan dengan Ular Berbisa
Melansir dari wikibooks.org, suatu pagi saat tengah berjalan di hutan, Bujang Enok bertemu seekor ular berbisa yang menghadangnya. Bujang Enok berusaha mengusir ular itu dengan baik, namun hewan itu tetap bertahan di tempatnya.
Ketika ular itu hendak menyerang, Bujang Enok akhirnya menggunakan semambu atau tongkat rotan peninggalan almarhum ayahnyauntuk melindungi diri. Sekali pukul, ular itu mati.
Setelah memastikan ular tidak bergerak lagi, Bujang Enok menguburkannya di pinggir jalan.
Ketika melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu, ia mendengar suara dua perempuan bercakap-cakap dari arah lubuk sungai, membahas kematian ular itu.
Meskipun merasa heran, ia memilih untuk tidak memedulikannya.
Kejutan di Dapur
Sepulang dari hutan, Bujang Enok mendapati hidangan lengkap di dapurnya. Karena lapar, ia segera memakan makanan itu sambil bertanya-tanya siapa yang telah menghidangkannya.
Ia penasaran karena tidak memiliki kerabat atau tetangga dekat yang mungkin berbuat demikian. Keesokan harinya, Bujang Enok memutuskan untuk mengintai siapa yang telah masuk ke pondoknya.
Menjelang siang, ia melihat tujuh gadis cantik seperti bidadari datang dari arah lubuk sungai, membawa hidangan dan masuk ke pondoknya. Di antara mereka, seorang gadis berselendang jingga tampak paling memikat hati Bujang Enok.
Setelah para gadis pergi, ia mengikuti mereka ke lubuk sungai. Dari balik semak-semak, Bujang Enok melihat mereka berganti pakaian untuk mandi. Saat itu, ia menggunakan tongkat untuk mengambil selendang jingga milik gadis tercantik.
Baca juga: Putri Kaca Mayang, Legenda Asal Usul Kota Pekanbaru
Pertemuan dengan Putri Mambang Linau
Setelah selesai mandi, gadis berselendang jingga menyadari selendangnya hilang. Ia bersama teman-temannya mencarinya, namun tidak menemukannya.
Enam gadis lainnya kemudian mengenakan selendang masing-masing dan terbang ke angkasa, meninggalkan gadis berselendang jingga sendirian di tepi lubuk. Bujang Enok keluar dari persembunyian dan menghampiri gadis itu.
Saat ditanya, gadis itu memohon agar selendangnya dikembalikan. Namun, Bujang Enok memberi syarat gadis itu harus menikah dengannya. Gadis itu menyetujui, dengan satu syarat pula, bahwa jika ia harus menari suatu hari nanti, pernikahan mereka akan berakhir.
Gadis itu mengaku sebagai Mambang Linau. Mereka menikah dan hidup bahagia. Setelah menikah, kebaikan hati Bujang Enok semakin terkenal hingga Raja mengangkatnya menjadi Batin (Pemimpin adat) di kampung Petalangan.
Titah Raja dan Perpisahan yang Tragis
Suatu hari, Raja mengadakan pesta yang mengharuskan istri para pembesar menari. Putri Mambang Linau menyadari bahwa jika ia menari, ia akan bercerai dengan Bujang Enok. Namun, ia merasa tidak dapat menolak titah Raja.
Dengan selendang jingga yang dikenakannya, ia mulai menari. Gerakannya menyerupai burung elang yang melayang. Perlahan, tubuhnya terangkat dan terbang ke langit menuju kayangan.
Semua yang hadir terkejut, termasuk Bujang Enok yang menyaksikan istrinya pergi untuk selamanya.
Sejak saat itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali, dan Bujang Enok harus menerima perpisahan itu sebagai pengorbanannya demi menjunjung tinggi titah Raja.