Filosofi “Habonaron Do Bona” ternyata telah membawa peradaban orang Simalungun di Sumatera Utara, lebih maju dan mampu mengatasi berbagai tantangan zaman. Bila diterjemahkan, falsafah itu memiliki arti kebenaran adalah dasar/pangkal.
Falsafah “Habonaron Do Bona”, merupakan warisan budaya yang telah ada sejak lama di Suku Simalungun. Meski agama telah lama masuk ke Sumatra, orang-orang Simalungun lebih menghidupi falsafah mereka yang populer yakni “Habonaron Do Bona”. Mereka menghayati dan mengamalkan falsafah tersebut meski hidup di perantauan.
Suku Simalungun memahami, untuk bisa bertahan hidup adalah dengan senantiasa mengutamakan kepentingan umum. Dan sikap itu diwariskan turun-temurun melalui pemahaman terhadap filosofi “Habonaron Do Bona”. Berpegang teguh pada hal tersebut, suku Simalungun selalu berupaya untuk bertindak benar.
Dilansir dari laman Indonesia.go.id, Letkol Purnawirawan MD Purba dalam buku ringkas berjudul Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun (1986) menulis, petuah “Habonaron Do Bona” telah dihayati masyarakat yang mendiami daerah Simalungun sejak lama.
Baca Juga: Danau Toba: Antara Fakta Ilmiah dan Legenda
Sehingga masa itu, di daerah Simalungun tidak pernah terjadi pencurian, penipuan dan perilaku negatif lainnya. Sebab, semua penduduk setempat berusaha hidup benar dan berlaku jujur demi kepentingan bersama.
Menurut MD Purba, sikap hidup orang Simalungun yang menjunjung falsafah “Habonaron Do Bona” tak lepas dari dua hal. Pertama, karena mereka menyadari diri sebagai pendatang, sehingga mereka menjadi lebih “tahu diri”, rendah hati dan berusaha saling menolong.
Kedua, karena leluhur Simalungun di awal-awal sempat hidup berpindah-pindah, sehingga ikhtiar ajaran agama tidak begitu mengakar. Meskipun ajaran Hindu dan Buddha sudah lama berkembang. Kendati berpindah-pindah, mereka tetap menjalankan filosofi “Habonaron Do Bona” sebagai suluh dalam kehidupan.
Asal-Mula Suku Simalungun
Suku Simalungun sendiri diduga berasal dari Siam atau Champa, Kamboja. Mereka mengembara ke arah Timur dan Selatan dengan mengayuh perahu. Mereka yang menuju selatan berarti bergerak ke arah Kepulauan Nusantara.
Riset terbaru Balai Arkeologi Sumut menunjukkan migrasi manusia pertama kali terjadi di Sumatra kira-kira 12.000 hingga 8.400 tahun lampau. Dan migrasi pertama ditemukan di Nias. Sedangkan migrasi kedua terjadi di Gayo sekitar 4.000 tahun lalu. Migrasi gelombang ketiga diperkirakan terjadi 3.000 tahun lalu. Dan gelombang keempat terjadi sekitar 1.000 tahun lalu hingga 1 Masehi ketika budaya dongsong berkembang pesat di Asia Tenggara.
Baca Juga: Paabingkon, Upacara Kelahiran Cucu Pertama di Simalungun
Leluhur Simalungun berpindah-pindah disebabkan serangan penyakit “sappar” atau wabah kolera yang merenggut banyak korban jiwa. Pada waktu itu, belum ditemukan obat yang bisa menangkal wabah tersebut. Sehingga orang Simalungun terpaksa harus mengungsi.
Sebagian besar nenek moyang Simalungun mengungsi ke arah Barat dengan menyeberangi Danau Toba menuju ke Pulau Samosir. Sebagian lagi bergerak ke arah Timur ke daerah Selat Malaka yang didominasi penduduk Melayu.
Suku Simalungun yang pergi ke Samosir sebagian menetap di sana dan tak lagi kembali. Mereka kemudian terakulturasi dengan budaya Batak Toba. Itulah sebabnya, ada beberapa marga Simalungun di sana, yaitu Purba, Sinaga, Manik. Namun karena mereka amat menjaga hubungan kekeluargaan dan pergaulan dengan baik, maka kebudayaan orang Simalungun dengan Orang Samosir tampak banyak kesamaan, termasuk sifat dan bahasa.