Tradisi Jenang Suran, di Pura Mangkunegara telah dilaksanakan secara resmi sejak kepemimpinan Mangkunegara VI .
Tradisi ini biasanya digelar dalam rangka menyambut tahun baru Islam yang maknanya untuk mendapatkan rahmat, keselamatan, dan sebagai rasa bersyukur kepada Tuhan
Tanggal 1 Muharram atau tahun baru Islam atau dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai malam 1 Suro.
Sebagian besar masyarakat Jawa memandang bulan ini sebagai sesuatu yang sakral dan penuh berkah. Salah satu tradisi yang dilakukan untuk menyambut bulan ini adalah tradisi jenang suran.
Awal Kisah Tradisi Jenang Suran
Menurut beberapa sumber, setiap daerah memaknai tradisi ini secara berbeda-beda.
Makna pertama dikatakan bahwa awalnya tradisi ini dilakukan untuk memperingati peristiwa selamatnya Nabi Nuh serta pengikutnya dari bencana banjir besar.
Setelah semuanya selamat, mereka mulai mencari sisa-sisa makanan yang bisa dimakan seperti ketela dan sisa beras yang hancur. Maka agar sisa makanan itu cukup untuk dimakan semua orang, maka dibuatlah bubur dengan tambahan lauk seadanya.
Makna lainnya, jenang suran berawal dari sajian yang diberikan Fatimah, puteri Nabi Muhammad SAW, kepada kedua putranya yaitu Hasan dan Husein yang sudah meninggal karena kurangnya pasokan makanan akibat peperangan yang berlangsung selama berhari-hari.
Umi Salamah sebagai nenek dari Hasan dan Husein ingin memberikan makanan persembahan.
Karena sedang dalam masa sulit dan tidak memiliki banyak persediaan makan, ia membuat makanan dari bahan apa saja yang berhasil dikumpulkan. Kemudian makanan tersebut dijadikanlah bubur.
Bentuk Rasa Syukur
Di Pura Mangkunegara, tradisi ini dilakukan secara resmi sejak kepemimpinan Mangkunegara VI. Pada masa kepemimpinan Mangkunegara VI banyak sekali perkembangan yang cukup pesat dari berbagai aspek, mulai dari kesenian, politik, agama, sosial dan budaya.
Dari segi budaya dan tradisi, perkembangan yang dilakukan adalah dengan diresmikannya tradisi Jenang Suran sebagai salah satu tradisi yang wajib dilakukan setiap tahun.
Menjelang malam 1 Suro, para Abdi Dalem juru kunci Makam Raja-raja Mataram di Kotagede akan menggelar tradisi Jenang Suran.
Tradisi ini dilaksanakan di Pelataran Kompleks Makam Raja-raja Mataram Kotagede yang berada di Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Tradisi Jenang Suran atau jenang panggul merupakan bentuk rasa syukur atas kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, inti dari tradisi ini sejatinya hanya pemanjatan doa-doa atau tahlilan.
Prosesi Jenang Suran
Prosesi tradisi ini diawali dengan arak-arakan ubo rampe oleh para Abdi Dalem.
Adapun jenang pangul sendiri bermakna memanggul yang diartikan bahwa abdi dalem dan masyarakat yang datang bisa kuat memanggul beban hidup di tahun yang baru.
Ubo rampe tersebut terdiri dari jenang suran, tumpeng nasi kuning, sayur kari kubis, serta ingkung ayam kampung.
Setelah itu, acara dilanjut dengan melantunkan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW serta zikir dan doa di depan pintu gerbang utama Makam dari Panembahan Senopati.
Pada akhir ritual tradisi ini, para Abdi Dalem akan membagikan kurang lebih sekitar 1.000 porsi Jenang Suran kepada masyarakat yang mengikuti prosesi dari awal hingga akhir.
Sebagian masyarakat menganggap jenang yang dibagikan sebagai berkah dalam menyambut malam tahun baru Islam. (Anisa Kurniawati– Sumber: budaya.jogjaprov.go.id)