Ratusan warga dari empat dusun di Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar tradisi Nyadran di Makam Sombomerti pada Minggu (16/2/2025).
Acara ini momen mempererat persaudaraan sekaligus bentuk syukur atas berkah yang diterima.
Dalam perayaan tahun ini, warga membuat empat gunungan berisi beragam hasil bumi, jajanan, dan makanan khas, termasuk gunungan “iwak goreng” atau ikan goreng. Gunungan itu kemudian diperebutkan warga sebagai bagian dari prosesi tradisi.
Makna Nyadran bagi Generasi Penerus
Ketua panitia penyelenggara, Supriyono, mengungkapkan bahwa Nyadran merupakan tradisi turun-temurun yang terus dilestarikan agar generasi muda memahami nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
“Kegiatan ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang dan bertujuan untuk nguri-uri budaya. Kami ingin anak cucu memahami makna Nyadran yang setiap tahun diadakan sebelum bulan Ramadan,” ujarnya dilansir dari krjogja.com.
Tahun ini, empat dusun yakni Demangan, Sombomerten, Corongan, dan Sanggragan, turut berpartisipasi dengan membawa gunungan masing-masing.
Gunungan itu sebelumnya diarak dari dusun masing-masing dengan iringan hiburan seni budaya sebelum tiba di lokasi utama.
“Kami buat lebih menarik agar semakin banyak warga yang ingin tahu dan akhirnya ikut melestarikan tradisi ini,” tambah Supriyono.
Nyadran 2025 Digabung dengan Sedekah Bumi
Menurut penanggung jawab acara, H. Fahrudin, perayaan Nyadran tahun ini terasa lebih meriah karena digabungkan dengan tradisi Sedekah Bumi.
Selain itu, dukungan juga datang dari Sendang Sombomerti yang ikut menyumbangkan ikan untuk gunungan “iwak goreng” yang kemudian dibagikan kepada warga.
“Mereka yang buyutnya dimakamkan di sini ikut berpartisipasi. Tiap dusun diwakili 200 orang, total ada 1.000 warga hadir. Semua iuran dan berkontribusi dalam pembuatan gunungan,” jelasnya.
Selain prosesi adat, acara ini juga dimeriahkan hiburan yang melibatkan potensi kampung secara mandiri. Menurut Fahrudin, pengemasan acara dengan konsep lebih menarik diharapkan bisa terus menjaga keberlangsungan tradisi ini.
“Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu dan bersifat terbuka. Kami ingin mengemasnya dengan baik agar generasi mendatang tidak melupakan budaya ini. Intinya adalah Birrul Walidain, berkirim doa untuk para leluhur,” lanjutnya.
Waktu Pelaksanaan yang Memudahkan Partisipasi Warga
Pemilihan hari Minggu sebagai waktu pelaksanaan Nyadran juga menjadi pertimbangan agar lebih banyak warga yang dapat berpartisipasi.
“Kami ingin mempererat kerukunan antarwarga. Dengan diadakan hari Minggu, semua bisa ikut dan berkontribusi dalam acara ini,” pungkas Fahrudin. Tradisi Nyadran di Maguwoharjo ini menjadi bukti bagaimana budaya lokal tetap terjaga di tengah perkembangan zaman, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan dan gotong royong di masyarakat.