Meugang atau makmeugang, adalah tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut Ramadan dan Hari Raya. Tradisi ini merupakan kegiatan memasak dan menikmati daging bersama keluarga, kerabat, dan yatim piatu sehari sebelum bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Aceh, tanah yang kaya akan sejarah dan tradisi, menyimpan beragam keunikan budaya yang menarik untuk dieksplorasi. Salah satunya yaitu Meugang yang telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam. Biasanya tradisi ini dilakukan satu hari sebelum ketiga momen penting bagi umat muslim tersebut. Namun di kota-kota besar, pelaksanaannya bisa sampai dua hari berturut-turut
Sejarah Tradisi Meugang
Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid yang dikenal sebagai Cek Midi, mengungkapkan bahwa tradisi Meugang telah berlangsung selama 400 tahun lamanya, berakar dari era Kesultanan Aceh pada masa tersebut.
Menurutnya, dalam literatur buku “Singa Aceh” oleh H.M. Zainuddin, disebutkan bahwa sultan pada masa itu sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, termasuk mereka yang kurang mampu. Hal ini kemudian diwujudkan dalam satu qanun atau hukum yang mengatur pelaksanaan Meugang.
Qanun tersebut, yang dikenal dengan nama “Meukuta Alam”, mengatur mengenai tugas Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi dalam mengambil dirham, kain, serta hewan ternak seperti kerbau dan sapi yang akan disembelih pada hari Meugang. Daging dari hewan-hewan tersebut kemudian didistribusikan kepada fakir miskin, dhuafa, dan mereka yang berkebutuhan khusus sebagai bentuk perhatian dan kepedulian dari pemerintah Sultan Aceh.
Esensi dan Perayaan
Bagi Masyarakat Aceh, Meugang memiliki nilai religius yang tinggi. Tradisi ini juga merupakan bentuk rasa syukur pada Allah SWT sekaligus sebagai bentuk suka cita dalam menyambut bulan suci Ramadan.
Pada hari pelaksanaan Meugang, masyarakat yang mampu akan menyumbangkan sapi untuk disembelih. Meski daging yang digunakan dalam perayaan Meugang, identik dengan daging sapi, namun bisa juga menggunakan daging kambing, bebek, ayam atau daging halal lainnya.
Daging tersebut nantinya akan dibagikan ke masyarakat secara rata, terutama bagi warga tidak mampu dan tetangga sekitar. Nantinya daging tersebut akan diolah, untuk dimakan bersama keluarga, ataupun dibawa ke Masjid untuk dimakan bersama warga sekitar.
Biasanya menjelang pelaksanaan Meugang di Aceh, ditandai dengan kemunculan pasar daging dadakan di pinggir jalan. Para pedagang daging berdiri berjejer di sepanjang jalan, menawarkan daging segar kepada pembeli. Tidak hanya itu, penjual bumbu dadakan juga ikut meramaikan suasana tersebut.
Seluruh proses mulai dari pembagian daging, memasak daging bersama-sama, dan makan daging bersama-sama inilah yang menjadi salah satu nilai inti Meugang, di mana membuat kerabat dan tetangga sekitar berinteraksi dan bersilaturahmi, sehingga mengeratkan nilai kekeluargaan di antara mereka.
Tradisi Meugang masih dipertahankan hingga kini, bahkan telah diakui oleh Kemendikbudristek sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2016. Tradisi ini telah menjadi momen penting untuk memperkokoh kebersamaan dan silaturahmi antar warga. Dalam kesibukan keseharian, Meugang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih. (Anisa Kurniawati-Sumber: itjen.kemdikbud.go.id/)