Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam menjaga kedaulatan bahasa Indonesia di ruang publik dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 2 Tahun 2025.
Aturan ini memuat pedoman pengawasan penggunaan bahasa Indonesia di berbagai ruang resmi dan institusi publik, sekaligus menertibkan penggunaan bahasa asing yang dinilai berlebihan.
Aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, menyambut baik kebijakan tersebut. Menurutnya, bahasa Indonesia merupakan bagian penting dari identitas dan kedaulatan bangsa.
“Kalau tidak dijaga, bahasa kita bisa tergerus. Padahal, bahasa adalah simbol jati diri bangsa,” ujar Ki Darmaningtyas, dilansir dari infopublik.id, Jumat (25/4/2025).
Baca juga: The Heroes Keris, Indonesia Tampilkan Pusaka Sakral dalam Pameran Internasional
Permendikdasmen ini hadir sebagai respon terhadap meningkatnya fenomena xenomania—kecenderungan berlebihan terhadap budaya dan bahasa asing. Hal ini terlihat dari maraknya papan informasi, nama institusi, dan petunjuk publik yang hanya menggunakan bahasa asing, seperti kata “exit” tanpa padanan “keluar”.
Bahkan, menurut Darmaningtyas, ada sekolah di pusat kota yang menggunakan tulisan dalam bahasa China tanpa menyertakan bahasa nasional.
“Bahkan ada sekolah di tengah kota pakai tulisan China. Ini wilayah Indonesia, bukan zona bebas bahasa nasional,” tambah Darmaningtyas.
Melalui Badan Bahasa, Kemendikdasmen telah melakukan pembinaan sejak tahun 2022 terhadap 1.437 lembaga di 31 provinsi. Lembaga yang dibina mencakup institusi pemerintah, pendidikan, hingga swasta.
Upaya pembinaan dilakukan melalui audiensi, analisis data, sosialisasi, pendampingan, dan pemberian penghargaan. Tujuan utama program ini adalah meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah, terutama pada landskap bahasa (linguistic landscape) dan dokumen resmi.
Baca juga: Negosiasi Tarif Perdagangan, AS Dukung Langkah Indonesia
Ki Darmaningtyas juga mengkritik tren pejabat yang menggunakan istilah asing demi terlihat intelek. “Yang bikin pejabat terlihat berpendidikan itu bukan karena ngomong pakai istilah asing, tapi dari nalar berpikirnya,” tegasnya.
Ia mencontohkan Jepang dan Thailand yang tetap menjaga kebanggaan pada bahasa nasional mereka. “Di Thailand semua nama lembaga ditulis dalam bahasa Thailand. Kita bisa meniru itu,” katanya.
Darmaningtyas mengusulkan agar penggunaan bahasa asing dibatasi pada konteks akademik atau internasional saja. Di luar itu, bahasa Indonesia bahkan bisa disandingkan dengan bahasa daerah untuk memperkaya komunikasi.
“Kalau perlu, pakai bahasa daerah yang mudah dipahami. Yang penting tetap dalam koridor nasionalisme,” tutupnya.