Suku Baduy, yang dikenal juga sebagai “urang Kanekes”, merupakan kelompok masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang memiliki kearifan lokal unik sehingga menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Desa Baduy terbagi menjadi dua wilayah utama, yaitu “Baduy Dalam” dan “Baduy Luar”, dengan populasi sekira 26.000 jiwa.
Perbatasan kedua wilayah, ditandai gubuk bambu yang digunakan masyarakat Baduy Dalam untuk menginap saat mereka berladang. Di Baduy Dalam, aturan adat sangat ketat, salah satunya melarang pengunjung mengambil foto. Sebagai gantinya, suasana hanya digambarkan melalui sketsa.
Terdapat tiga desa utama di Baduy Dalam, yakni “Cikeusik”, “Cikertawarna”, dan “Cibeo”.
Desa Cibeo lebih terbuka terhadap wisatawan, meskipun tetap menerapkan larangan penggunaan bahan kimia seperti sabun, sampo, dan odol demi menjaga kelestarian lingkungan. Sebaliknya, Desa Cikeusik dikenal akan keasrian dan keindahannya, tetapi jarang dikunjungi.
Sementara itu, Desa Cikertawarna juga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat tradisi Baduy Dalam. Kehidupan masyarakat Baduy Dalam dipenuhi dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dipertahankan turun-temurun.
Baca juga: Tradisi Labuh Saji, Lestarikan Kekayaan Laut Sukabumi
Setia dengan Tradisi
Salah satunya adalah tradisi “gotong royong”, yang masih sangat dijunjung tinggi, terutama saat mereka harus pindah ke lahan baru karena pola hidup nomaden yang mereka anut. Selain itu, kesederhanaan juga tercermin dari bentuk rumah adat yang serupa, tanpa mencerminkan status sosial. Hanya jumlah perabot kuningan yang dimiliki menjadi simbol status keluarga.
Malam hari di Baduy Dalam digunakan untuk berkumpul bersama keluarga dan tetangga sambil bermain kecapi, karena wilayahnya gelap tanpa listrik. Tradisi hidup sehat dan hemat juga menjadi ciri khas masyarakat Baduy Dalam. Mereka tidak menggunakan kendaraan bermesin seperti motor atau mobil, tetapi mampu menempuh perjalanan jauh ke kota besar dengan berjalan kaki. Tak heran di wilayah ini alamanya bebas polusi baik polusi suara maupun polusi udara.
Larangan lain yang menarik adalah penggunaan bambu sebagai pengganti gelas dan piring, yang memberikan aroma khas pada minuman panas. Orang tua di sana memiliki cita-cita sederhana untuk anak-anak mereka, yaitu agar mereka melanjutkan tradisi berladang.
Tradisi “perjodohan” juga masih berlaku, di mana seorang gadis dijodohkan saat berusia 14 tahun. Keunikan lain dari masyarakat Baduy Dalam adalah pandangan mereka terhadap makanan.
Masakan berbahan ayam dianggap sebagai makanan mewah yang hanya disajikan pada acara besar seperti pernikahan atau kelahiran. Sosok “Pu’un”, kepala adat yang dihormati, memegang peran penting dalam menentukan masa tanam, panen, serta menerapkan hukum adat.
Selain itu, tradisi “Kawalu”, yaitu puasa tiga kali dalam tiga bulan, menjadi momen sakral. Selama Kawalu, wisatawan hanya diizinkan berkunjung hingga wilayah Baduy Luar dan tidak boleh menginap.
Dengan kearifan lokal yang terjaga, suasana alam yang asri, dan tradisi pyang terjaga, Suku Baduy Dalam yang selalu dekat dengan alam menawarkan pengalaman berbeda bagi wisatawan.
Destinasi ini menjadi pilihan sempurna untuk merasakan kedamaian, mempelajari nilai-nilai adat, serta menikmati kehidupan sederhana yang harmonis dengan alam. (Diolah dari berbagai sumber)