Tradisi Pukul Sapu di Provinsi Maluku merupakan pertunjukan untuk mengenang perjuangan Kapitan dan Malesi pada Perang Kapahaha. Tradisi yang dilakukan dengan saling memukul dengan sapu lidi (Ukuwala Mahiate) yang diadakan setiap tujuh hari setelah lebaran.
Dalam bahasa daerah Morella, masyarakat menyebutnya ‘Palasa’ atau ‘Baku Pukul Manyapu’ yang artinya saling memukul dengan sapu lidi. Tradisi pukul sapu lidi ini lahir dan dilestarikan hingga kini di Negeri Morella, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Tradisi ini dilatar belakangi peristiwa perang Kapahaha (1643-1646), di jazirah Hitu bagian utara pulau Ambon. Perang Kapahaha ini dipimpin Kapitan Telukabessy (Ahmad Leakawa). Penyebab peperangan karena sebagian besar masyarakat setempat menentang penjajahan VOC.
Baca juga: Mendengarkan Tahuri, Alat Musik Terbuat dari Cangkang Kerang
Menghormati Para Pejuang
Saat VOC menyerang Benteng Kapahaha, Kapitan Telukabessy langsung melakukan perlawanan. Pertempuran PUN berlangsung sengit, banyak pejuang yang gugur.
Namun, meski Benteng Kapahaha merupakan pertahanan yang sulit ditembus, pada akhirnya tentara VOC Belanda berhasil menembusnya. Hal ini terjadi karena pengkhianatan dari pasukan Telukabessy.
Benteng Kapahaha jatuh. Banyak masyarakat dan kapitan ditangkap dan ditawan di Teluk Sawa Telu. Kapitan Telukabessy sendiri menghadap di Markas VOC, untuk membebaskan seluruh rakyat yang di tawan sebagai pertanggungjawaban atas perlawanan.

Pada tanggal 19 Agustus 1646 Telukabessy menghadap Komandan Verheijden, dan mengajukan beberapa tuntutan tegas. Namun tuntutan tersebut tidak direspon Belanda.
Hingga pada akhirnya Kapitan Telukabessy dihukum gantung, 13 September 1646 di Benteng Victoria Amboina. Setelah perlawanan Telukabessy berakhir, Gubernur Gerard Demmer membebaskan para pejuang Kapahaha 27 Oktober 1646.
Pembebasan tawanan perang Kapahaha diselingi dengan acara perpisahan. Di acara dipentaskan tarian adat dengan nyanyian-nyanyian kapata. Turut pula mempertunjukkan Atraksi Pukul Sapu Lidi.
Perpisahan tersebut sangat berkesan, mereka kemudian berikrar untuk menetapkan Atraksi Pukul Sapu Lidi menjadi tradisi adat. Sejak saat itulah Tradisi Pukul Sapu Lidi selalu diadakan di Negeri Morella setiap tanggal 7 Syawal.
Tradisi ini telah menjadi media mengenang kembali perjuangan para leluhur di Benteng Kapahaha,
Atraksi Pukul Sapu
Atraksi ini dilakukan pemuda-pemuda Negeri Morella. Tradisi pukul menyapu terdiri dari dua regu yang masing-masing berjumlah sekitar 10 orang. Sebelum masuk ke arena, mereka harus berkumpul di rumah pusaka marga Wakang (Pessy) untuk melakukan prosesi adat.
Propertinya, batang lidi dari pohon enau berukuran besar. Ukuran lingkaran pangkal 0,5 cm dan bonggolnya selebar 3-5 cm. Kostum yang digunakan biasanya celana pendek, bertelanjang dada dan memakai ikat kepala merah (kain berang).
Saat di arena, kedua regu saling berhadapan dengan memegang batang lidi. Pertunjukan diiringi dengan tifa sawat yang khusus dimainkan para sesepuh laki-laki.
Kedua regu saling pukul sampai berdarah secara bergantian. Luka-luka itu merupakan simbol perjuangan melawan penjajah. Luka bekas pukulan kemudian diobati secara tradisional dengan menggunakan getah daun jarak.
Makna dari tradisi Pukul Sapu Lidi tidak hanya sebagai pengingat peristiwa perang Kapahaha. Akan tetapi juga untuk merayakan kemenangan setelah berhasil menjalankan ibadah Puasa Ramadhan.
Kini, Tradisi Pukul Sapu tidak hanya menjadi aset budaya bangsa namun juga sebagai ajang pertemuan kembali anak cucu pejuang perang Kapahaha dari berbagai daerah. Hal ini menjadi wadah silaturahmi untuk menjalin kembali tali persaudaraan, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan. (Dari berbagai sumber)