Wadi patin ialah makanan yang berasal dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kuliner ini berbahan dasar ikan yang difermentasikan selama tiga sampai tujuh hari. Masakan ini sendiri bisa dibuat dengan berbagai jenis ikan. Namun biasanya dibuat dari ikan yang mengandung banyak lemak seperti patin, jelawatan dan lainnya.
Kuliner fermentasi ikan ini bukan hanya sekadar makanan saja, namun sudah menjadi warisan budaya yang diturunkan secara turun temurun. Wadi Patin biasanya dimasak dengan cara digoreng atau dimasak dalam kuah kaldu sederhana untuk membangkitkan aroma khas dari hasil fermentasi.
Rasanya unik yakni perpaduan antara gurih, asam, dan sedikit manis. Karena rasanya yang unik dan lezat ini membuat Wadi Patin banyak disukai, tidak hanya di kalangan masyarakat Dayak, tetapi juga bagi para wisatawan yang berkunjung ke Kalimantan.
Sebagai Cadangan Makanan
Dilansir dari kompasiana.com, Awal mula munculnya Wadi Patin dikarenakan mayoritas penduduk Palangkaraya berasal dari Suku Dayak dan Suku Banjar. Kedua suku ini dikenal sebagai peladang yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Tidak jarang mereka tinggal jauh dari sungai sehingga tidak dapat sering mengkonsumsi ikan.
Maka dari itulah, suku tersebut mulai mempelajari teknik pengawetan ikan yang biasa disebut Wadi yaitu fermentasi ikan. Tujuannya untuk digunakan sebagai bahan cadangan makanan ketika jauh dari sungai. Kuliner ini sendiri, mirip dengan kuliner asal Jepang yaitu Funazushi.
Bedanya adalah Wadi memerlukan waktu pembuatan yang lebih pendek, yakni hanya dalam hitungan harian hingga mingguan sedangkan Funazushi memakan waktu hingga tahunan. Proses fermentasi tersebut menggunakan garam dan samu. Bahan samu sendiri adalah beras ketan yang di sangrai sampai kecoklatan dan di tumbuk kasar.
Tujuannya supaya ikan bisa bertahan lebih lama tanpa menggunakan bahan pengawet modern. Biasanya membutuhkan waktu sekitar 3 hingga 7 hari untuk fermentasi. Kuliner ini sendiri bisa dibuat dengan berbagai jenis ikan. Namun biasanya dibuat dari ikan yang mengandung banyak lemak seperti patin, jelawatan dan lainnya.
Proses pembuatannya yaitu, setelah dipotong-potong, ikan di bersihkan dan di tiriskan sampai kering. Selanjutnya ikan tersebut di aduk dengan garam dan di diamkan selama kurang lebih 1×24 jam. Kemudian, ikannya di cuci sampai bersih dan di campur dengan bahan sumu.
Setelah diaduk sampai merata, masukkan ikan ke dalam wadah tertutup seperti toples kaca atau guci dari tanah liat. Tujuannya supaya tidak mengalami pembusukan selama proses fermentasi. Biasanya masyarakat akan melapisi bagian atasnya denga beberapa daun nangka supaya tidak busuk atau berulat. Proses permentasi ini memakan waktu sekitar kurang lebih 3-5 hari hingga seminggu lebih. Baru kemudian, bisa diolah dengan cara di goreng atau ditumis dengan kuah sedikit.
Seiring dengan perkembangannya, Wadi Patin mulai banyak disukai oleh orang-orang. Kemudian kuliner ini mulai diperkenalkan di berbagai restoran di Kalimantan dan bahkan di luar pulau. Banyak orang yang penasaran dengan rasa uniknya. Tak jarang Wadi Patin juga dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pengunjung.
Selain kelezatannya, Wadi Patin juga memiliki nilai historis dan sosial yang tinggi. Dalam budaya Dayak, makanan ini sering disajikan dalam berbagai acara adat, seperti perayaan panen, pesta pernikahan, atau upacara adat lainnya.
Melalui Wadi Patin, masyarakat Dayak tidak hanya melestarikan warisan kuliner, tetapi juga memperkenalkan keunikan budaya mereka kepada masyarakat yang lebih luas. Ini membuktikan bahwa kekayaan tradisi lokal mampu memberikan warna tersendiri dalam peta kuliner Indonesia. (Dari berbagai sumber)