Di tengah hiruk pikuk lantai atas Pasar Induk Wonosobo, berdiri sebuah kedai kopi yang tak biasa bernama Warung Srawung.
Tempat ini tidak hanya menyajikan kopi dan camilan, tetapi juga menghadirkan ruang alternatif bagi anak muda untuk berkumpul, membaca, dan berkarya.
Kedai ini mengusung semangat literasi di tengah lingkungan pasar yang mulai ditinggalkan generasi muda.
Kami berkesempatan mewawancarai Kholiq Arif, karyawan operasional Warung Srawung sekaligus mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Terbuka.
Ia menjelaskan bahwa Warung Srawung berawal dari keresahan sang pemilik, Ridwan Afif, terhadap menurunnya minat baca masyarakat, khususnya di kalangan anak muda Wonosobo.
“Warung ini hadir dari keresahan akan rendahnya minat baca di Wonosobo. Maka dari itu, kami menyediakan pojok baca agar siapa pun bisa membaca buku secara gratis,” ungkap Kholiq.
Nama “Srawung” sendiri, menurutnya, dipilih karena mencerminkan semangat berinteraksi sosial.
“Letaknya di pasar, kami ingin tempat ini menjadi ruang sesrawungan—tempat orang saling mengenal, saling ngobrol,” imbuhnya.
Baca Juga: WNFC 2025 Tampilkan Keagungan Budaya Lokal Wonosobo
Menempati salah satu ruko kosong di lantai atas pasar, lokasi ini sempat dianggap sebagai hidden gem.
Kehadiran Warung Srawung menjadi upaya untuk menarik anak muda agar kembali melirik pasar sebagai tempat yang menarik dan nyaman untuk berkegiatan.
“Dulu kami sering nongkrong di Kedai Kopi 58 milik Mas Dika. Dari sana kami lihat banyak ruko kosong. Kami pikir, kenapa tidak coba dirikan kedai sendiri di sini?” cerita Kholiq.

Warung Srawung menawarkan aneka makanan ringan seperti pao-pao, donat kentang, dan aneka variasi mie instant.
Untuk minuman, tersedia kopi Liong Bulan khas Bogor, teh Tambi, hingga racikan rempah lokal seperti purwaceng, jahe pandan, empon-empon, dan butterfly pea (bunga telang).
Harga menu berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000, menjadikannya ramah di kantong pelajar dan mahasiswa.
Selain menu kuliner, warung ini juga menghadirkan paket melukis, dengan kanvas kecil mulai Rp18.000 dan kertas daur ulang Rp15.000.
Tersedia pula barang-barang loakan, kaset, buku koleksi, dan produk thrifting, sebagian di antaranya dijual kepada pengunjung.
Pojok baca menjadi daya tarik utama. Pengunjung dipersilakan membaca tanpa harus memesan makanan atau minuman.
Jika suka musik, mereka juga bisa request lagu favorit.
“Kadang ada yang datang cuma buat baca atau nemenin temannya. Itu nggak masalah. Kami justru senang bisa jadi tempat yang nyaman buat siapa saja,” ujar Kholiq.

Warung Srawung buka setiap hari, kecuali Jumat.
Jam operasional mulai pukul 11.00 hingga 16.00 untuk hari biasa, dan pukul 10.00 hingga 16.00 di akhir pekan. Sabtu dan Minggu menjadi hari paling ramai dikunjungi.
Baca Juga: Es Sisilia, Kuliner Legendaris Wonosobo yang Tetap Eksis Sejak 1985
Namun, bukan berarti perjalanan Warung Srawung tanpa kendala. Masalah utama yang dihadapi adalah keuangan.
“Karena pemasukan nggak selalu stabil, kadang naik turun. Tapi alhamdulillah masih bisa bertahan,” ungkap Kholiq.
Harapan ke depan, lanjutnya, Warung Srawung bisa terus berkembang dan memberi dampak positif, terutama dalam meningkatkan minat baca generasi muda.
“Walau cuma datang buat baca atau ngobrol, itu sudah cukup bagi kami. Yang penting ruang ini hidup,” tutupnya.