Daya tarik Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ternyata bukan hanya terkait wisata alamnya saja, namun juga wisata religi. Salah satu destinasinya adalah Masjid Al-Manshur, masjid tertua di daerah yang dijuluki Kota Di Atas Awan ini.
Berusia Hampir 180 Tahun
Berdasarkan keterangan pada papan informasi, Masjid Al-Manshur didirikan pada tahun 1847 dan selesai pada tahun 1856. Masjid di Jalan Pangeran Diponegoro No. 13 Kauman Utara, Wonosobo, Jawa Tengah ini menjadi saksi penyebaran Islam di Wonosobo dan berperan dalam proses pendirian cikal bakal Kabupaten Wonosobo.
Masjid Al-Manshur juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Kyai Walik, salah satu dari tiga tokoh penyebar Islam di Wonosobo bersama Kyai Kolodete dan Kyai Karim. Kyai Walik dikenal sebagai seorang ulama yang merancang tata kota Wonosobo dan menjadi figur yang dihormati.
Makam Kyai Walik di kompleks masjid ini menjadi daya tarik bagi para peziarah dari berbagai daerah.
Cerita di Seputar Masjid Al-Manshur
Menurut cerita, lokasi masjid ini dahulu dipercaya sebagai tempat berjemur para wali. Kisah magis tentang makam Kyai Walik pertama kali muncul ketika KH Chabib Lutfi, seorang ulama ternama, melihat sinar terpancar dari belakang masjid, yang kemudian diketahui sebagai makam Kyai Walik.
Nama asli Kyai Walik sendiri masih menjadi perdebatan, dengan beberapa ulama menyebutnya sebagai Abdul Kholiq atau Ustman bin Yahya. Kyai Walik diyakini berasal dari Yaman dan datang ke Indonesia bersama Sunan Kudus sebelum akhirnya berdakwah di Wonosobo.
Pengajian Setonan
Masjid Al-Manshur memiliki tradisi keagamaan yang telah berlangsung lama. Tradisi utamanya adalah pengajian setonan setiap hari Sabtu, yang diisi kajian tafsir, fikih, dan ilmu Islam lainnya.
Selain itu, pengajian selapanan dan berbagai kegiatan keagamaan rutin digelar di sini. Pada bulan Ramadan, kawasan sekitar masjid menjadi tempat wisata religi dan bazar.
Jam Matahari
Bangunan Masjid Al-Manshur bergaya arsitektur Jawa kuno, dengan tiang-tiang kayu berukir yang menopang struktur utamanya. Masjid ini juga dilengkapi dengan bedug dan mimbar khas tradisional.
Sejak didirikan, masjid ini telah mengalami beberapa renovasi. Pada tahun 1924, setelah gempa besar, atap yang semula menggunakan ijuk diganti dengan genteng.
Kemudian, pada tahun 1972, atap genteng diganti dengan seng, dan serambi masjid dimodifikasi menjadi model Spanyol. Renovasi terakhir pada tahun 2018 mengembalikan bentuk serambi ke model awal dengan tambahan emperan untuk menampung lebih banyak jamaah.
Masjid Al-Manshur tidak hanya menjadi tempat ibadah dan pusat pengajian, tetapi juga menjadi patokan waktu shalat masyarakat Wonosobo. Masjid ini dilengkapi dengan “Bencet” atau jam matahari atau sundial yang berfungsi sebagai alat penentu waktu shalat.
Di masa lalu, sebelum mengenal jam digital, jam matahari digunakan untuk menentukan waktu salat Zuhur dan Ashar.
Jejak Kyai Manshur
Masjid ini awalnya dikenal sebagai Masjid Besar Wonosobo dan berada di sebelah barat alun-alun. Namun, karena alasan tata ruang, masjid ini dipindahkan sekitar 500 meter ke utara.
Tanah untuk pembangunan masjid ini diwakafkan Kyai Manshur, seorang penghulu kabupaten pada zamannya, yang juga menjadi alasan masjid ini dinamai Masjid Al-Manshur. Kyai Manshur adalah tokoh penting dalam sejarah Wonosobo.
Ia merupakan putra KH Marhamah Bendosari Sapuran dan keturunan ke-17 dari Raja Majapahit, Brawijaya V. Hingga kini, nama dan jasanya terus dikenang melalui keberadaan masjid ini.