Ahmad Tohari, dikenal sebagai penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Akibat novel itu ia pernah diancam hukuman penjara karena dianggap Pemerintah Orde Baru kekiri-kirian. Selama berkarya, ia telah melahirkan puluhan novel, cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi.
Sejak remaja, pria kelahiran Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948 ini sudah hobi menulis. Ahmad Tohari awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Tidak pernah terbersit di pikiran bahwa hobinya kelak akan membawanya menjadi seorang penulis ternama.
Selepas tamat SMA di Purwokerto, ia melanjutkan kuliah Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta. Namun, karena kendala biaya, kuliahnya terhenti. Kemudian dia juga tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman.
Dilansir dari laman tokoh.id, karier awalnya di bidang jurnalistik bermula saat bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah hingga sepuluh tahun lamanya. Ia juga pernah menjadi redaktur Harian Merdeka dan Majalah Amanah.
Pada tahun 1975, Tohari menjadi pemenang sayembara Kincir Emas Radio Nederland Weredomroep untuk cerpennya yang berjudul Jasa-Jasa Buat Sanwirya. Sejak itu dia memfokuskan diri sebagai penulis dan mengundurkan diri sebagai redaktur.
Novel pertama Ahmad Tohari adalah Di Kaki Bukit Cibalak (1977). Selanjutnya ia melahirkan karya berikutnya yaitu Kubah (1980). Kubah berhasil terpilih sebagai karya fiksi terbaik dan meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama.
Ahmad Tohari dikenal sebagai orang yang terbuka dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Sifatnya seringkali dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang banyak mengangkat penderitaan rakyat dan ketidakadilan.
Dalam novelnya yang mengangkat cerita tentang Peristiwa September 1965, ia menceritakan pengalamannya ketika berada di kampung halamannya. Saat itu ia menyaksikan pembunuhan keji terhadap seorang anak muda karena diduga sebagai anggota PKI.
Baca juga: Mengenang Rosihan Anwar, Sastrawan Pelintas Lima Zaman
Buku Kontroversial
Salah satu novel Ahmad Tohari yang terkenal adalah Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel ini menceritakan pergulatan penari tayub di desa terpencil, Dukuh Paruk, di masa pergolakan komunis.
Pemerintah Orde Baru menggangap karya Ahmad kekiri-kirian. Tohari PUN diinterogasi selama berminggu-minggu di Kodim Banyumas hingga menjalani wajib lapor.
Akhirnya, penulis Trioligi Ronggeng menghubungi Gus Dur. Tentara yang menginterogasinya itu baru mempercayainya dan melepaskannya. Bahkan, novel itu juga sempat terancam batal terbit karena dianggap kontroversial.
Salah satu bagian bukunya yang menceritakan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap PKI membuat bukunya disensor selama 25 tahun. Di tahun 1999, bagian yang hilang itu diterbitkan dalam bahasa Inggris, berjudul The Silence of Voices oleh Honolulu University Press, Amerika Serikat.
Trilogi ini juga diterjemahkan dalam bahasa Jerman, Belanda, Jepang dan Rusia. Kini, setelah reformasi, pihak Gramedia menerbitkan ulang trilogi tersebut menjadi satu buku yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2002) dengan mengembalikan bagian-bagian yang dulu dihilangkan.
Karya Ahmad Tohari juga ditransformasikan ke dalam film dengan judul “Darah Mahkota Ronggeng”. Pemeran utama film itu adalah Enny Beatrice dan Ray Sahetapy yang disutradarai Yazman Yazid. Film keduanya berjudul “Sang Penari” (2011) disutradarai oleh Ifa Ifansyah.
Sang Penari dibintangi Prisia Nasution sebagai Srintil dan Oka Antara sebagai Rasaus. Film tersebut berhasil mendapatkan 11 nominasi dalam Festival Film Indonesia 2011 dan berhasil mendapat empat piala. (Dari berbagai sumber)