Begalan merupakan salah satu tradisi khas yang tetap dipertahankan masyarakat Banyumas, termasuk di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tradisi ini, yang semula menjadi bagian penting dalam pernikahan adat Jawa, menyimpan sejarah panjang serta makna simbolis yang mendalam. Begalan berfungsi sebagai sarana penyampaian nasihat bagi pasangan pengantin, sekaligus sebagai upaya menjaga kelestarian nilai-nilai budaya Jawa.
Kata “Begalan” berasal dari kata Jawa “begal,” yang berarti perampokan. Tradisi ini berakar dari cerita tentang rombongan pengantin yang dihadang oleh begal saat perjalanan ngunduh mantu. Peristiwa ini kemudian diadopsi sebagai simbol dalam prosesi pernikahan adat Jawa, khususnya di Banyumas dan Cilacap, sebagai lambang ujian yang harus dihadapi oleh pasangan pengantin sebelum memulai kehidupan rumah tangga. Pada masa lalu, Begalan diyakini sebagai ritual penting untuk mendapatkan restu leluhur dan menghindarkan pasangan dari marabahaya.
Begalan biasanya dilaksanakan setelah prosesi akad nikah dan sebelum upacara panggih temanten. Di Cilacap, terdapat variasi Begalan Kreasi, yang merupakan bentuk modern dari tradisi ini. Pertunjukan Begalan melibatkan beberapa orang yang berperan sebagai tokoh dalam prosesi, dengan dialog yang sering kali disampaikan dalam nada humor, namun tetap mengandung pesan moral yang ditujukan kepada pengantin.
Ciri khas tradisi Begalan adalah penggunaan alat-alat dapur sebagai simbol. Setiap alat memiliki makna tersendiri yang mencerminkan nasihat penting dalam kehidupan rumah tangga. Misalnya, siwur melambangkan pentingnya berbagi dan menabung, kusan melambangkan kokohnya rumah tangga yang harus dibangun atas dasar kerja sama, dan irus melambangkan perlunya keseimbangan dalam hubungan suami-istri.
Para pelaku Begalan biasanya mengenakan pakaian adat Jawa sederhana seperti beskap dan kain jarik. Selain itu, musik tradisional Jawa mengiringi setiap gerakan dan dialog, menciptakan suasana yang khidmat namun penuh dengan makna.
Meskipun masih dipraktikkan, pelestarian Begalan menghadapi tantangan, terutama di kalangan generasi muda yang semakin sedikit tertarik pada tradisi adat. Keterbatasan waktu dalam prosesi pernikahan modern juga menjadi kendala. Namun, upaya untuk menjaga inti dan nilai-nilai tradisi ini tetap dilakukan agar Begalan tidak hilang di tengah modernisasi. (Achmad Aristyan – Sumber: budaya-indonesia.org)