Desa Giring dikenal sebagai desa yang kaya akan potensi budaya. Salah satu kekayaan tersebut adalah sebuah cerita rakyat yang menceritakan asal usul Gunung Bagus. Gunung Bagus sendiri merupakan objek wisata alam yang juga memiliki nilai ritual budaya di Desa Giring Gunungkidul, Yogyakarta, dan tempat ini mulai dikenal secara luas sejak tahun 2018. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai terjadinya Gunung Bagus, dan di sini akan disampaikan salah satu versi yang ditulis oleh Suwondo dalam bukunya, “Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta” (1981).
Dalam cerita tersebut, diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Mataram di bawah Gusti Sultan Agung, negeri Mataram dibagi menjadi beberapa daerah yang masing-masing dipimpin oleh seorang penguasa atau “rangga”. Salah satu daerah tersebut adalah Blimbing, yang dipimpin oleh Rangga Blimbing.
Di Mataram, ada tradisi yang mengharuskan diadakannya “pisowanan pasok bulu bekti”, yaitu suatu upeti kepada raja sebagai tanda ketaatan. Semua rangga di wilayah Mataram diwajibkan hadir, dan jika ada yang tidak dapat hadir, mereka harus memberi kabar. Jika ada yang tidak hadir tanpa pemberitahuan, pihak keraton akan mengirim utusan untuk menyelidiki karena dikhawatirkan rangga tersebut membangkang atau memberontak.
Rangga Blimbing dikenal sebagai seorang yang setia kepada Gusti Sultan Agung. Ia selalu hadir dalam acara pisowanan, bahkan sering membawa putranya, Jaya Ketok, yang merupakan pemuda tampan dan berbakat. Setiap kali menghadiri pisowanan, Jaya Ketok berjumpa dengan Gusti Rara Pembayun, putri Gusti Sultan Agung, yang memiliki kecantikan luar biasa.
Gunung Genthong, Legenda Prabu Brawijaya dan Raden Patah
Seiring berjalannya waktu, kedekatan Jaya Ketok dan Gusti Rara Pembayun berkembang menjadi cinta yang dalam, meskipun hubungan mereka disembunyikan. Namun, rahasia ini akhirnya diketahui oleh seorang abdi, yang segera melaporkan kepada Gusti Sultan Agung. Sultan Agung terkejut mendengar kabar tersebut dan bertekad untuk mengakhiri hubungan ini demi menjaga kehormatan. Menurut pandangannya, hubungan tersebut tidak seimbang, mengingat Gusti Rara Pembayun adalah putri seorang raja besar, sedangkan Jaya Ketok hanya anak seorang rangga. Meski demikian, Sultan Agung mengakui bahwa Jaya Ketok adalah pemuda yang berkualitas.
Dengan cara bijaksana, Sultan Agung memanggil Rangga Blimbing, Jaya Ketok, dan Gusti Rara Pembayun untuk dinasehati agar mereka menyadari posisi mereka masing-masing. Dia meminta Rangga Blimbing untuk memberikan pengertian kepada anaknya. Rangga Blimbing menerima nasihat tersebut, tetapi Jaya Ketok dan Gusti Rara Pembayun hanya menyanggupi tanpa sungguh-sungguh.
Mereka tetap melanjutkan pertemuan rahasia, yang kemudian diketahui kembali oleh seorang abdi. Mendengar laporan ini, Gusti Sultan Agung merasa marah dan menganggap Rangga Blimbing gagal mengendalikan anaknya. Akhirnya, Sultan mengutus prajurit untuk membunuh Rangga Blimbing.
Namun, Rangga Blimbing telah mendengar tentang rencana serangan tersebut. Sebelum prajurit Mataram tiba, pasukan Blimbing telah bersiap. Ketika prajurit Mataram datang, mereka menghadapi perlawanan yang kuat dari pihak Blimbing, yang berhasil memukul mundur lawan mereka.
Legenda Gunung Slamet, Mitos atau Kisah Nyata?
Dalam kondisi ini, Gusti Sultan Agung meminta bantuan kepada Belanda, yang kemudian menyerang Blimbing untuk kedua kalinya. Kali ini, pasukan Mataram yang disertai Belanda lebih unggul dan berhasil mendesak pasukan Blimbing. Dalam pertempuran itu, Jaya Ketok ditangkap dan dibunuh di sebuah telaga dekat Desa Blimbing.
Kematian Jaya Ketok tidak mengakhiri konflik di negeri Mataram. Sebuah perang yang lebih besar antara Mataram dan Belanda pun meletus. Penyebabnya adalah tuntutan Belanda agar Gusti Sultan Agung menyerahkan Gusti Rara Pembayun kepada seorang perwira Belanda untuk dijadikan istri. Sultan Agung setuju, dengan syarat Gusti Rara Pembayun bersedia. Namun, putri tersebut menolak.
Perwira Belanda marah mendengar penolakan tersebut dan menuduh Sultan Agung mempengaruhi putrinya. Merasa terhina, Sultan Agung pun memutuskan untuk melawan Belanda. Terjadilah pertempuran antara prajurit Mataram dan Belanda. Meskipun pertempuran berlangsung sengit, perlengkapan perang Belanda yang lebih modern membuat pasukan Mataram terdesak.
Untuk menyelamatkan diri, Sultan Agung terpaksa meninggalkan keraton, didampingi permaisuri dan beberapa pengawal. Pengembaraan Sultan berakhir di Desa Kedunglumbu, Surakarta. Di sana, Sultan Agung bertemu dengan seorang gadis cantik anak seorang janda miskin. Terpesona oleh kecantikannya, Sultan Agung menjadikannya sebagai selir.
Dari pernikahan tersebut lahir seorang putra tampan bernama Jaka Bagus. Tak lama setelah kelahiran Jaka Bagus, permaisuri Sultan Agung juga melahirkan seorang putra bernama Jaka Trenggana. Keduanya tumbuh hampir sebaya dan dididik bersama di Kedunglumbu, menjalin persahabatan layaknya saudara kandung.
Namun, suatu hari, Jaka Bagus jatuh sakit. Sultan Agung memutuskan untuk membawanya ke Desa Giring dan menitipkannya kepada Ki Ageng Wonoboyo untuk dirawat. Saat menyerahkan Jaka Bagus, Sultan Agung berpesan agar jika anaknya tidak sembuh, Ki Ageng bersedia menguburnya di puncak bukit yang tinggi.
Ki Ageng Wonoboyo menyanggupi permintaan tersebut. Sayangnya, semua usaha merawat Jaka Bagus tidak membuahkan hasil, dan anak itu meninggal. Sesuai permintaan Sultan Agung, Jaka Bagus dimakamkan di puncak bukit yang lebih tinggi dari bukit di sekitarnya, di selatan Desa Giring.
Setelah pemakaman selesai, Ki Ageng Wonoboyo melapor kepada Sultan Agung mengenai kegagalannya merawat Jaka Bagus. Sultan Agung menanggapi dengan bijak, mengakui bahwa kematian anak itu sudah menjadi kodratnya. Dia menyatakan bahwa jika Jaka Bagus sembuh, hal itu bisa menyebabkan keributan di Mataram, karena Jaka Bagus bukanlah penggantinya.
Kemudian, bukit tempat pemakaman Jaka Bagus dinamakan Gunung Bagus. Dua abdi yang mendampingi Jaka Bagus dari Kedunglumbu menetap di Giring dan dimakamkan di dekat Giring dengan tempat yang lebih rendah dari Gunung Bagus.
Makam Gunung Bagus terkenal angker. Konon, burung yang terbang di atasnya akan jatuh dan mati, sementara binatang yang mendaki bukit tersebut akan hilang. (Achmad Aristyan – Sumber: Suwondo “Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta”)