Desa Trunyan, merupakan salah satu desa adat tertua di Pulau Dewata. Daya tarik utama Desa Trunyan adalah tradisi pemakamannya yaitu Mepasah. Tradisi ini berbeda dari kebiasaan masyarakat Hindu-Bali lainnya.
Tradisi Mepasah, dilakukan degan meletakkan jenazah di permukaan tanah dalam sebuah cekungan panjang tanpa dikubur atau dikremasi. Tradisi ini berkaitan erat dengan pohon taru menyan.
Menurut kepercayaan setempat, pohon ini mengeluarkan aroma khas sehingga mampu menghilangkan bau jenazah yang membusuk. Nama desa Trunyan sendiri berasal dari pohon ini.
Konon keberadaannya pohon ini telah menarik perhatian seorang dewi dan seorang pangeran dari Jawa, yang kemudian menjadi leluhur masyarakat setempat.
Jenis Pemakaman di Desa Trunyan
Dilansir dari Indonesia.go.id, cara pemakaman orang Trunyan sebenarnya ada dua macam:
- Diletakkan di atas tanah di bawah udara terbuka (exposure) atau kubur angin.
- Dikebumikan atau kubur tanah (inhumation).
Namun, berdasarkan status sosial, usia, serta kondisi jasad saat meninggal, masyarakat Trunyan mengenal tiga bentuk pemakaman yakini:
- Sema Wayah yaitu pemakanan untuk orang yang meninggal secara wajar dan telah menikah, bujangan, atau perawan. Jenazah mereka diletakkan di atas tanah dalam tradisi Mepasah. Lokasi pemakaman ini hanya memiliki tujuh petak, sehingga jika ada jenazah baru, tulang-belulang dari jenazah lama akan dipindahkan ke pinggir area pemakaman.
- Sema Nguda. Pemakaman ini diperuntukkan anak-anak dan orang yang belum menikah. Sebagian besar dimakamkan dengan cara Mepasah, tetapi bayi yang belum mencapai fase “meketus” (tanggal gigi susu) akan dikubur di dalam tanah.
- Sema Bantas. Pemakaman ini untuk yang meninggal dengan cara tidak wajar. Misalkan seperti akibat pembunuhan, bunuh diri, atau penyakit tertentu. Jenazah mereka dikuburkan dalam tanah.
Ritual Kematian Hindu-Trunyan
Selain pemakaman, masyarakat Trunyan memiliki dua tahap utama dalam ritual kematian.
Pertama, Ngutang Mayit dilakukan segera setelah seseorang meninggal, tetapi belum cukup untuk melepaskan roh dari tubuhnya. Kedua, ritual Ngaben diperlukan sebagai tahap penyucian kedua agar roh dapat masuk ke dunia orang mati (Dalem) dan kemudian bereinkarnasi.
Menariknya, tidak semua orang memerlukan ritual Ngaben. Anak-anak dan yang belum menikah dianggap masih suci dan dapat langsung menuju surga tanpa perlu ritual penyucian tambahan.
Sebaliknya, orang yang telah menikah atau dikuburkan di Sema Bantas wajib menjalani Ngaben atau Pengabenan agar rohnya tidak gentayangan.
Pada ritual Pengabenan, di Trunyan memiliki perbedaan dengan praktik di Bali pada umumnya.
Biasanya, jenazah dibakar dalam prosesi kremasi. Namun di Trunyan dilakukan dengan simbolisasi melalui pembuatan boneka prerai. Boneka ini terbuat dari kayu cendana dan daun lontar.
Setelah upacara, prerai dari kayu cendana akan di-mepasah-kan kembali. Sementara prerai dari daun lontar dibawa pulang untuk didoakan selama setahun. Kemudian wadah yang digunakan dalam ritual ini ditenggelamkan ke Danau Batur, sehingga disebut Pengabenan dengan Tirta (Air).
Tradisi Mepasah yang unik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi desa Trunyan. Sehingga tidak jarang wisatawan juga datang untuk melihat dan mengikuti prosesi pemakaman ini.