Labuhan Merapi merupakan salah satu tradisi sakral yang dilakukan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bentuk rasa syukur serta doa bagi keselamatan Sri Sultan Hamengku Bawono X.
Ritual ini juga menjadi wujud penghormatan kepada leluhur Kraton sekaligus permohonan keselamatan bagi masyarakat Yogyakarta.
Melansir dari ksdae.menlhk.go.id, upacara Labuhan Merapi berlangsung pada tanggal 30 Rajab dalam penanggalan Jawa.
Selain memiliki nilai spiritual, ritual ini juga menjadi bagian dari daya tarik wisata budaya di Kabupaten Sleman dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Makna dan Sejarah Labuhan Merapi
Dilansir dari budaya.jogjaprov.go.id, tradisi Labuhan Merapi berkaitan erat dengan keyakinan masyarakat Jawa mengenai hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Yang Maha Kuasa.
Ritual ini telah diwariskan sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga kini.
Dalam prosesi Labuhan Merapi, berbagai uborampe (sesaji) dipersembahkan sebagai simbol penghormatan kepada alam dan leluhur. Sesaji ini diyakini memiliki makna wujud pengabdian serta harapan akan kesejahteraan dan keselamatan.
Labuhan Merapi juga menjadi refleksi dari filosofi Jawa, sebagaimana yang diangkat dalam tema tahun ini, “Rahayuning Bawana Gumantung Pakartining Janma”, yang bermakna bahwa keselamatan dan kesejahteraan dunia bergantung pada perilaku manusia itu sendiri.
Hari Pertama: Kirab dan Penyerahan Uborampe
Rangkaian acara dimulai dari Kraton Yogyakarta, di mana uborampe Labuhan dibawa dalam sebuah iring-iringan menuju kantor Kapanewon Cangkringan.
Sebelumnya, rombongan singgah di kantor Kapanewon Depok sebelum akhirnya uborampe diserahkan perwakilan Kraton kepada Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo.
Setelah itu, sesaji diserahkan ke Mbah Asih (Mas Kliwon Suraksa Asihono), juru kunci Gunung Merapi.
Tradisi ini merupakan bagian penting dari Labuhan, di mana para juru kunci memiliki peran sebagai penjaga kearifan lokal serta penghubung antara tradisi dan masyarakat sekitar.
Kirab kemudian berlanjut ke petilasan rumah Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Kalurahan Umbulharjo, tempat uborampe secara resmi diterima juru kunci.
Acara berlanjut dengan berbagai pertunjukan budaya yang semakin menambah khidmat suasana.
Fragmen kisah tradisional dipentaskan sebagai bagian dari rangkaian prosesi sakral. Setelah itu, masyarakat turut serta dalam perebutan berkah gunungan yang menjadi momen paling dinantikan.
Pada malam harinya, digelar kenduri dan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur.
Suasana kian semarak dengan pentas Tari Pudyastuti yang memukau penonton. Sebagai penutup, pagelaran wayang kulit semalam suntuk menambah kesan mendalam ritual Labuhan Merapi.
Hari Kedua: Prosesi Labuhan ke Sri Manganti
Pada hari kedua, prosesi utama dimulai sekitar pukul 06.40 WIB.
Uborampe diarak sejauh 2,45 km dari Dusun Kinahrejo menuju Bedengan. Setelah prosesi doa singkat, perjalanan dilanjutkan menuju Sri Manganti, titik ritual utama di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Di Sri Manganti, seluruh uborampe dilabuh sebagai simbol penghormatan dan doa kepada alam.
Prosesi ini dipimpin langsung Mbah Asih dan ditutup dengan pembagian nasi berkat kepada para peserta yang hadir. Upacara ini selesai sekitar pukul 09.30 WIB.
Peran Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dalam Labuhan
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Muhammad Wahyudi, menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam kelancaran acara. Ia menekankan bahwa zona religi, budaya, dan sejarah di kawasan TNGM mendukung pelestarian budaya serta adat istiadat masyarakat setempat.
Selain memberikan dukungan, pihak TNGM juga menerjunkan personel untuk mengamankan jalur menuju lokasi ritual serta memastikan faktor keselamatan tetap diutamakan.
Mengingat status Gunung Merapi yang masih berada di Level III (Siaga), aspek mitigasi bencana menjadi perhatian utama dalam penyelenggaraan upacara ini. (Diolah dari berbagai sumber)