Randai, salah satu kesenian tradisional khas Minangkabau yang memadukan unsur seni drama, tari, musik, dan suara. Dimainkan secara berkelompok, kesenian ini menyampaikan cerita melalui nyanyian secara bergantian.
Istilah Randai berasal dari kata marandai atau malinka yang berarti membentuk lingkaran. Selain itu, Randai juga memiliki makna lain dari kata randai, yaitu ber(h)andai.
Arti kata ini berarti bertutur menggunakan kalimat kiasan atau kata-kata samar.
Sejarah dan Asal-Usul Randai
Randai diyakini berasal dari masyarakat Periangan, Padang Panjang, Sumatera Barat. Konon, kesenian ini pertama kali dimainkan ketika masyarakat berhasil menangkap seekor rusa.
Seiring waktu, Randai berkembang menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Minangkabau.
Mereka menjadikan kesenian ini sebagai sarana komunikasi serta hiburan rakyat. Pada masa penjajahan Jepang, kesenian ini sempat mengalami kemunduran, namun kembali bangkit setelah Indonesia merdeka.
Randai tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga memiliki fungsi sebagai media penyampai pesan moral dan sosial. Cerita yang dibawakan sering kali mengandung nilai-nilai kehidupan seperti keberanian, kejujuran, persaudaraan, dan keadilan.
Dalam pertunjukan Randai, para pemain terkadang menggunakan dialog dalam bahasa Minang yang dikemas dalam bentuk prosa dan pantun.
Uniknya, perwatakan tokoh dalam Randai tidak diungkapkan melalui riasan atau kostum, melainkan melalui gurindam atau dendangan yang mereka bawakan.
Pertunjukan Randai
Pertunjukan Randai biasanya diadakan di alam terbuka tanpa panggung, sehingga tidak ada batas antara pemain dan penonton. Cerita yang dimainkan dalam Randai berasal dari kaba, yaitu cerita rakyat Minangkabau.
Temanya beragam, mulai dari budi pekerti, susila, dan pendidikan. Beberapa cerita yang sering dibawakan antara lain Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dan sebagainya. Kesenian ini dimainkan secara kelompok antara 14 hingga 25 orang.
Pemeran utama dalam Randai berkisar antara satu hingga tiga orang, tergantung pada cerita yang dibawakan. Dalam setiap pertunjukan, pemeran utama akan dikelilingi anggota Randai lainnya. Pertunjukkannya dipimpin tukang goreh.
Selain itu, ada pula janang yang bertugas memberikan aba-aba dalam permainan.
Dalam pertunjukannya, randai juga mengadaptasi seni bela diri tradisional Minangkabau, yakni silek. Iringannya menggunakan talempong (alat musik perkusi) dan saluang (seruling bambu).
Hingga saat ini Randai masih dipertunjukkan meski mengalami kemunduran. Menurunnya minat generasi muda serta kurangnya wadah dan insentif pemberdayaan dinilai sebagai salah satu faktor penyebab. (Dari berbagai sumber)