Salah satu tradisi budaya yang masih dilakukan masyarakat Imogiri, Yogyakarta yakni Nguras Enceh. Ritual ini melibatkan pengisian ulang air ke dalam empat tempayan (enceh) yang terletak di Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri.
Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai sejarah dan spiritual.
Awal Mula Nguras Enceh
Melansir dari bantulkab.go.id, tradisi ini bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram.
Setelah memenangkan perang melawan aliansi beberapa kerajaan, yakni Kesultanan Aceh, Palembang, Utsmaniyah (Turki Utsmani), dan Kerajaan Siam (Thailand-Myanmar), Sultan Agung menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan itu.
Sebagai simbol perdamaian, masing-masing kerajaan menghadiahkan sebuah tempayan atau enceh. Keempat enceh itu ditempatkan di area makam Sultan Agung di Imogiri.
Dua enceh, Nyai Danumurti dan Kyai Danumaya, berasal dari Kesultanan Palembang dan Kesultanan Aceh, yang kini menjadi milik Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, enceh Kyai Mendung dan Nyai Siyem, hadiah dari Kesultanan Utsmaniyah dan Kerajaan Siam, kini menjadi milik Keraton Surakarta.
Letak masing-masing enceh simbol hierarki kedua keraton dalam silsilah Kesultanan Mataram.
Rangkaian Ritual Nguras Enceh
Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, ritual Nguras Enceh diawali sehari sebelumnya dengan kirab budaya dari Kecamatan Imogiri menuju Kompleks Makam Raja-Raja di Pajimatan, Girirejo.
Kirab ini dimeriahkan seni tradisional seperti Gunungan, Prajurit Lombok Abang, Jatilan, Gejog Lesung, dan Selawatan, menciptakan suasana yang sakral dan meriah.
Di hari pelaksanaan, prosesi diawali doa dan tahlilan bersama di depan masing-masing enceh. Abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, yang berpakaian khas, bergantian memimpin.
Setelah doa selesai, air dari keempat enceh dikuras dan dibagikan kepada para pengunjung yang percaya akan manfaat spiritual dan kesehatan dari air itu.
Pemaknaan dan Kepercayaan
Pada masa Sultan Agung, air dalam tempayan ini digunakan untuk wudu. Masyarakat mempercayai, air dari keempat enceh memiliki kekuatan spiritual, termasuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Tradisi ini sekaligus menjadi simbol penghormatan kepada warisan leluhur, pengingat akan nilai-nilai persahabatan, serta cara menjaga harmoni antara manusia, budaya, dan spiritualitas.
Inklusivitas dan Pengelolaan Bersama
Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri dikelola dua keraton, Yogyakarta dan Surakarta. Masing-masing memiliki perwakilan berupa abdi dalem yang bertugas menjaga kelangsungan tradisi dan ritual.
Sebanyak 103 abdi dalem bertugas di area makam, terdiri atas 62 orang dari Keraton Yogyakarta dan 41 orang dari Keraton Surakarta.