Menjelang bulan suci Ramadan, hampir semua desa di Kabupaten Temanggung melaksanakan tradisi sadranan, termasuk warga Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat. Mereka mengadakan tradisi nyadran di pasarean Suroloyo, yang terletak di puncak Gunung Kekep, Dusun Kupen, Desa Kupen.
Nyadran merupakan tradisi yang tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga sosial. Warga Soropadan mempercayai bahwa ritual ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, sekaligus sarana untuk mempererat hubungan antarwarga. Hal ini menjadi penting terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari kampung halaman.
Tradisi ini juga berfungsi sebagai pengingat sejarah dan perjalanan leluhur mereka, khususnya Mbah Suropodo yang memiliki peranan penting dalam pembukaan lahan di Desa Soropadan.
Salah satu hal yang membedakan tradisi ini adalah penggunaan keranjang bambu untuk membawa makanan atau sesaji. Di dalam nyadran kali ini, tidak ada kebiasaan ‘kembul bujono’ atau makan bersama.
Tradisi nyadran di pasarean Suroloyo dimulai dengan arak-arakan warga Soropadan yang menaiki Gunung Kekep menuju kompleks Makam Suroloyo (Sepujud). Iringan rebana mengisi suasana, sementara warga mengenakan pakaian beskap saat menaiki anak tangga Gunung Kekep.
Pemilihan lokasi ini sangat bermakna, mengingat Pasarean Suroloyo merupakan makam Mbah Suropodo, sosok yang dianggap sebagai pepunden Desa Soropadan yang membuka lahan di daerah tersebut. Oleh karena itu, lokasi ini memiliki nilai historis yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat setempat.
Dalam tradisi nyadran ini, alih-alih menggunakan tenong atau tampah untuk membawa makanan, warga memilih keranjang bambu.
Makanan yang dibawa dalam keranjang bambu biasanya terdiri dari aneka makanan tradisional yang telah disiapkan oleh masyarakat setempat. Ini termasuk kue-kue, buah-buahan, dan makanan khas lainnya yang sering disajikan dalam acara-acara adat.
Ketua Panitia Sadranan, Agus Sarwono, menjelaskan bahwa sadranan di Desa Soropadan dilaksanakan setiap Jumat Pahing di bulan Sya’ban. Areal pasarean dipilih karena merupakan makam Pangeran Pujud dan beberapa pengikut Pangeran Diponegoro yang menjadi cikal bakal Desa Soropadan.
Agus menambahkan bahwa para pepunden di pemakaman ini memiliki keturunan yang terus ada hingga kini. Beberapa di antara mereka bahkan menjabat sebagai orang-orang penting. Ia juga menjelaskan bahwa dalam tradisi nyadranan di sini, makanan yang dibawa tidak dimakan bersama, karena lokasi ini jauh dari sumber air. Makanan yang dibawa kemudian dibagikan kepada peserta.
Salah satu keturunan trah dari Yogyakarta, Hastari, mengungkapkan bahwa ia selalu mengikuti ritual nyadranan. Menurutnya, tradisi ini tidak hanya unik, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat jasa para leluhur serta sebagai sarana untuk menjaga kerukunan antarwarga.
Ia menekankan pentingnya nguri-uri budaya ini, yang juga bertujuan mempererat hubungan antarwarga, terutama bagi keturunan yang tersebar di luar kota maupun luar negeri.(Achmad Aristyan- Sumber: mediacenter.temanggungkab.go.id)