Huta Siallagan, merupakan kawasan cagar budaya di tepian Danua Toba. Lokasi tepatnya berada di Tuktuk, Desa Siallagan, Pindaraya, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Desa adat ini menyimpan banyak peninggalan sejarah dan kekayaan budaya Batak.
Keindahan Danau Toba sudah tidak lagi asing bagi kalangan masyarakat Indonesia, namun juga bagi wisatawan mancanegara. Tak hanya dikaruniai keindahan alam namun juga sarat dengan kekayaan budaya Batak.
Salah satu bukti kentalnya nuansa budaya Batak di Pulau ini bisa dilihat di Huta Siallagan, salah satu desa di daerah Ambarita, Pulau Samosir. Tempat ini menampakkan keaslian bangunan-bangunan adat dan juga pagelaran budaya Batak.
Huta sendiri artinya desa/kampung, dan Siallagan adalah nama marga raja pendiri desa tersebut. Marga pendiri huta disebut marga raja atau marga tano. Marga-marga lain yang juga tinggal di huta dinamakan marga boru. Siallagan sendiri adalah marga Batak Toba keturunan dari Raja Nai Ambaton yang mengikuti garis keturunan Raja Isumbaon, putra kedua Si Raja Batak.
Baca Juga: Danau Toba: Antara Fakta Ilmiah dan Legenda
Rumah adat yang ada di Huta Siallagan terdiri dari Rumah Bolon, Rumah Siamporik, dan Rumah Sibola Tali. Rumah Bolon bentuknya lebih besar, tangga dari dalam dan dihuni oleh raja dan anaknya.
Rumah Sibola Tali bentuknya lebih langsing dan kecil, dihuni oleh kerabat raja (anak laki-laki). Sedangkan, Rumah Siamporik, bentuknya lebih kecil, dihuni oleh keluarga yang diundang tinggal di huta itu (boru, bere, dan marga siallagan yang bukan keturunan raja)
Di Huta Siallagan, rumah-rumah adat tersebut berdiri tanpa diberikan sekat ataupun pagar. Makna filosofis dari hal tersebut adalah masyarakat yang tinggal dalam satu huta terikat bersama, menjadi satu kesatuan. Dengan begitu, mereka saling membantu, menjaga, dan menyelesaikan masalah bersama.
Kursi Batu Pengadilan
Selain rumah adat, ada juga batu kursi atau batu persidangan dan batu parhapuran, yang dikelilingi tembok batu setinggi 1,5 meter. Batu persidangan ini merupakan tempat raja Siallagan zaman dahulu mengadili penjahat.
Di samping kursi persidangan tumbuh pohon yang disebut sebagai pohon kebenaran, yang merupakan Pohon Hariara. Semua keputusan pengadilan yang diambil raja disampaikan atau disumpahkan ke pohon ini.
Di dalam kompleks ini juga terdapat makam raja Siallagan dan keturunannya, area eksekusi untuk menghukum penjahat yang sudah diadili, rumah untuk memasung penjahat, berbagai totem dari kayu, dan tidak ketinggalan boneka Sigale-gale.
Diketahui boneka Sigale-gale memiliki keunikan yaitu dapat menari, bergerak sendiri bahkan mengeluarkan air mata saat ritual tertentu. Ritual tersebut memiliki tujuan untuk memanggil arwah yang sudah meninggal.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Huta Siallagan, bersama dengan cagar budaya lainnya sudah semestinya kita lestarikan. Dengan begitu, generasi mendatang dapat mengenal sejarah dan peninggal yang membentuk Indonesia saat ini. (Anisa Kurniawati-Sumber: itjen.kemdikbud.go.id)