Legenda Gunung Pegat diperkirkan sudah menyebar setelah masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raden Wijaya, yang berpusat wilayah Lamongan, Jawa Timur. Daerah di pesisir utara Jawa ini memang strategis hingga menjadi pusat ekonomi sejak zaman dahulu kala.
Jejaknya dapat dilihat dari sebuah jalan purbakala yang menghubungkan pusat pemerintahan kerajaan di Trowulan dengan pelabuhan Tuban, yang kini dikenal dengan Kambang Putih.
Melansir dari budaya-indonesia.org, jalur ini berawal dari Desa Pamotan di selatan dan mengarah ke utara hingga Gunung Pegat. Jalur ini merupakan jalur utama yang dilalui para saudagar, prajurit, dan masyarakat umum, memperlancar pergerakan barang, informasi, dan budaya di wilayah itu.
Dalam sejarah Lamongan di Jawa Timur, kedatangan Islam di wilayah ini berawal dari peran Rangga Hadi, santri kesayangan Sunan Giri II. Berasal dari Desa Cancing, Ngimbang, Lamongan, Rangga Hadi ditugaskan untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah barat Kasunanan Giri.
Konon, slama perjalanan dakwahnya, Rangga Hadi mengarungi Kali Lamong dengan perahu, hingga akhirnya tiba di Dukuh Srampoh, Pamotan, yang merupakan bagian dari jalur purbakala Majapahit. Setelah beberapa waktu, Rangga Hadi menetap di Pucakwangi dan membangun perkampungan Islam yang berkembang pesat.
Nama Mbah Lamong, yang diberikan kepadanya oleh masyarakat, menjadi simbol kecintaan dan penghormatan terhadap tokoh yang telah menyebarkan agama Islam dengan cara yang penuh kasih dan pengabdian.
Sebagai penghargaan atas perjuangannya, Rangga Hadi diangkat menjadi adipati pertama Lamongan dengan gelar Tumenggung Surajaya pada tahun 1569.
Baca juga: Cerita Batu Ampar, Legenda Si Badang Yang Perkasa
Wira Sandi dan Ledung Sari
Di balik kemegahan Kerajaan Majapahit, terdapat sebuah cerita rakyat yang tak terlupakan, yaitu kisah Wira Sandi dan putri cantik Ledung Sari.
Wira, seorang pahlawan kerajaan, menikahi Ledung Sari, dan bersama-sama mereka memilih untuk hidup tenang di pedesaan jauh dari keramaian politik.
Mereka menetap di lereng Gunung Pucuk Wangi, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota Majapahit, untuk membangun kehidupan baru yang harmonis. Wira Sandi dan Ledung Sari menjalani hidup sederhana, berbahagia dengan alam yang subur dan air yang jernih.
Namun, dalam kehidupan mereka yang damai, Gunung Pucuk Wangi ternyata juga dihuni makhluk mistis, termasuk seekor naga siluman bernama Naga Diahulu. Naga ini memiliki dua kepala, satu di bagian depan dan satu lagi di bagian ekor, yang menggambarkan dualitas sifat baik dan buruk.
Naga Diahulu dikenal sebagai pemangsa bayi yang masih dalam kandungan, dan keberadaannya menambah misteri di sekitar kehidupan Wira Sandi dan Ledung Sari. Suatu hari, Wira Sandi dan Ledung Sari pergi ke pasar Babat untuk membeli bahan makanan yang mulai habis.
Di sebuah warung makan, mereka bertemu dengan beberapa pria misterius yang mengamati mereka dengan tatapan tajam. Tak lama setelah itu, sebuah bencana tak terduga menimpa keluarga kecil ini.
Dalam suasana tegang, di bawah langit mendung, Wira Sandi mendapati dirinya terlibat dalam peristiwa yang akan mengubah nasibnya dan menghubungkannya dengan Legenda Gunung Pegat.
Kejadian ini, yang mengisahkan cinta, pengkhianatan, dan kehadiran makhluk-makhluk gaib, terus menjadi cerita yang hidup di kalangan masyarakat Lamongan.
Legenda ini tidak hanya menggambarkan kisah cinta yang abadi, tetapi juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil sebagai pelajaran.
Di tengah kekayaan dan kemegahan sebuah kerajaan, terdapat kehidupan sederhana yang penuh makna, dan bahwa cinta sejati seringkali diuji berbagai ujian kehidupan, termasuk kekuatan-kekuatan yang tak tampak oleh mata manusia. (Dari berbagai sumber)