PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) tengah menjadi sorotan setelah dinyatakan pailit dan resmi berhenti beroperasi pada Jumat, 28 Februari 2025.
Perusahaan yang pernah menjadi produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara ini dikenal luas karena produknya yang berkualitas tinggi dan menjadi pemasok seragam militer untuk NATO serta tentara Jerman.
Kesuksesan PT Sritex tak lepas dari peran pendirinya, H.M. Lukminto, seorang pebisnis tekstil asal Indonesia keturunan Tionghoa.
Dari memulai usaha kecil-kecilan di Pasar Klewer, Solo, ia berhasil membangun Sritex menjadi raksasa industri tekstil internasional.
Baca Juga: Arkiv Vilmansa dan Biota Laut, Dari Trauma ke Karya Seni
Masa Kecil dan Awal Perjalanan Bisnis
Melansir dari radarsolo.jawapos.com, H.M. Lukminto lahir pada 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur.
Masa kecilnya dihabiskan dengan pendidikan formal, hingga akhirnya ia harus berhenti sekolah karena kebijakan pemerintah pasca-insiden G30S/PKI pada 1965, yang melarang sekolah-sekolah etnis Tionghoa beroperasi.
Terpaksa meninggalkan bangku SMA, Lukminto mulai belajar bisnis dengan berdagang kain di Pasar Klewer, Solo, mengikuti jejak kakaknya, Ie Ay Djing (Emilia).
Dengan modal Rp 100 ribu dari orang tuanya, ia membeli kain belaco dari Semarang dan Bandung, lalu menjualnya dengan berkeliling ke berbagai pasar seperti Pasar Klewer dan Pasar Kliwon.
Berkat kegigihannya, bisnisnya mulai berkembang. Pada tahun 1967, ia berhasil membeli dua kios di Pasar Klewer dan terus memperbesar usahanya.
Ia juga mendirikan pabrik batik rumahan, yang menjadi cikal bakal industri tekstilnya.
Baca Juga: Jejak Karya Popo Iskandar, “Pelukis Kucing” yang Melegenda
Mendirikan Sritex: Dari Pabrik Kecil ke Industri Raksasa
Pada tahun 1972, H.M. Lukminto mengambil langkah besar dengan mendirikan pabrik pertamanya di Semanggi, Solo.
Bisnisnya terus berkembang hingga pada 1982, ia mendirikan pabrik tenun di Desa Jetis, Sukoharjo, dengan nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex).
Saat awal berdiri, pabrik ini hanya menempati lahan 10 hektare, tetapi seiring dengan berkembangnya bisnis, luasnya membesar hingga mencapai lebih dari 100 hektare.
Pada 3 Maret 1992, Presiden Soeharto meresmikan pabrik PT Sritex, menandai dimulainya kerjasama besar dengan pemerintah Indonesia dalam produksi seragam militer.

Ekspansi Global: Sritex dan Seragam Militer NATO
Keberhasilan PT Sritex dalam memproduksi seragam militer berkualitas tinggi menarik perhatian dunia.
Pada 1994, perusahaan ini mulai mendapat kepercayaan untuk memasok seragam militer bagi NATO dan tentara Jerman.
Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, Sritex berkembang menjadi eksportir utama tekstil dengan klien di berbagai negara.
Produknya meliputi kain, pakaian jadi, hingga tekstil teknis yang digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk militer dan industri otomotif.
Berkat kepiawaian Lukminto dalam mengembangkan bisnisnya, PT Sritex berhasil menjelma sebagai salah satu pemimpin industri tekstil di Asia Tenggara, bahkan di dunia.
Baca Juga: Siti Aminah Marijo, Pelopor Bekatul Beras Merah di Wonosobo
Kepemimpinan Beralih ke Generasi Kedua
Pada 5 Februari 2014, H.M. Lukminto meninggal dunia di Singapura dalam usia 67 tahun. Sejak saat itu, kepemimpinan Sritex beralih ke anak sulungnya, Iwan Lukminto, yang melanjutkan bisnis keluarga.
Di bawah kepemimpinan baru, Sritex tetap bertahan sebagai perusahaan tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, industri tekstil menghadapi tantangan berat akibat persaingan global, kebijakan impor, serta kondisi ekonomi yang fluktuatif.
Sritex Pailit: Akhir dari Perjalanan Panjang
Setelah bertahun-tahun menjadi raksasa industri tekstil, PT Sritex kini harus menghadapi kenyataan pahit.
Pada 28 Februari 2025, perusahaan ini resmi pailit dan menghentikan seluruh operasionalnya.
Krisis keuangan, utang yang membengkak, serta tekanan industri yang semakin kompetitif diduga menjadi faktor utama runtuhnya perusahaan yang pernah berjaya ini.
Meski demikian, nama H.M. Lukminto tetap dikenang sebagai pelopor industri tekstil Indonesia.
Dari seorang pedagang kain keliling, ia berhasil membangun imperium bisnis yang mendunia.
Warisannya dalam industri tekstil tetap menjadi inspirasi bagi banyak pengusaha di Indonesia. (Diolah dari berbagai sumber)
Baca Juga: Tjhai Chui Mie, Wali Kota Perempuan Tionghoa Pertama Indonesia